Reportase: INSTAL ULANG

Registry editor pada software jiwa kita sudah morat-marit oleh command prompt yang tidak jelas asal muasalnya. Dogma kita telan, stigma kita imani, provokasi kita amini, akibatnya ranculah mana nilai murni dan mana nilai relatif. Kata menjajah kita, simbol memuslihati kita. Kalau bicara kasta pasti hindu, kalau bicara hipnosis pasti jin, kalau bicara gamis pasti muslim, kalau bicara Jawa pasti klenik.

Seberapa telaten kita memaknai ulang kata demi kata, simbol demi simbol, agar apa yang kita pahami atas kata dan simbol, berikut arti, makna, nuansa, aksentuasinya terbebas dari kepentingan pendek jenis apapun, hanya dengan Nama Tuhan Yang Menciptakan. [] RedJS

Macan yang Tak Bisa Mengaum Sendiri

Gegap gempita copras-capres di negeri ini makin riuh saja. Para ahli memprediksi, perhelatan perebutan kursi RI 1 kali ini akan lebih ramai dibanding pilpres-pilpres terdahulu. Wajar saja lebih ramai, karena di tengah masyarakat yang telah mengalami percepatan kecerdasan demikian pesat ini, para capres dituntut untuk lebih atraktif dan akrobatik lagi berlaga di panggung pilpres kali ini.

Terlebih nama-nama yang bercokol saat ini, belum ada yang bisa menampilkan diri sebagai lakon panggung yang sinisihan wahyu yang sedang dinanti-nantikan masyarakat. Bukannya mereka tampil menyodorkan diri sebagai manusia setengah dewa, tetapi malah sibuk menyembunyikan setengah denawa sisi kelam mereka masing-masing.

Dua nama besar digadang-gadang akan menjadi winner dan runner up dalam pertandingan yang akan menentukan nasib 270 juta rakyat bangsa ini. Prabowo dan Jokowi. Prabowo sang mantan petinggi angkatan bersenjata ini gagah, membawa misi mengembalikan Indonesia sebagai Macan Asia. Jokowi sang gubernur ini melenggang maju dengan santun membawa misi “blusukan”. Tidak juga bisa mereka melenggang mulus karena Prabowo tersandera berbagai kasus pelanggaran HAM saat ia menjabat semasa orde baru dahulu. Sedangkan Jokowi terantuk-antuk batu sandungan belum kelarnya tugas amanat jabatan gubernur yang ia emban.

Jokowi adalah anak emas media, semasa menjadi walikota Solo, kemudian upgrade menjadi Gubernur DKI Jakarta, rasa-rasanya tidak ada birokrat yang tidak pernah libur masuk berita seharipun selain Jokowi. Namun situasi berubah ketika Ibunda ketum perpolnya Jokowi mendeklarasikan JKW4P. Deklarasi pencapresan Jokowi yang berarti pula pengkhianatan perjanjian Batu Tulis dengan partainya Prabowo.

Setelah itu, Jokowi sepi dari pemberitaan. Sampai selang beberapa waktu, Jokowi kembali ramai, ramai dalam bentuk yang lain : negative campaigne. Topik kegagalan memerintah, inferioritas, pencitraan, kebohongan publik hingga masalah etnis SARA menjadi suguhan yang cukup mengenyangkan publik. Lantas betulkah isu-isu negatif itu, silahkan yang penasaran mencari tahu sendiri pada sumber yang valid. Kalau tidak mau susah payah menelusur mencari tahu, sebaiknya tidak usah terlalu diambil hati agar tidak sampai membuat sakit hati. Lebih baik pikiran digunakan untuk ngebulnya dapur, tidak usah dipaksakan menonton panggung politik, kalau memang itu tidak menarik untuk ditonton.

Berbeda dengan Prabowo, bertahun-tahun mulai dari saat ancang-ancang menjadi capres, hingga masa kampanye Pileg, jarang muncul di media. Bak macan, ia muncul bersamaan dengan siulan burung elang dalam setiap iklan partainya untuk mengucapkan selamat hari ini dan itu. Amat disayangkan, walaupun segagah macan, ia tidak bisa lantang mengaum menyampaikan sendiri bahwa dirinya tidak punya sisi kelam masa lalu kok. Bisanya hanya diam, tidak pernah bisa membuktikan kalau “saya ini bersih kok”, “duduk persoalan penculikan di masa lalu itu begini dan begitu. Saya tidak ikut-ikutan”, begitu misalnya.

Malahan si macan itu mencari-cari tokoh yang bisa ia jadikan tameng. Beberapa waktu yang lalu beredar poster Cak Nun, yang sebuah fotonya saat sedang berpidato dicatut untuk dijadikan tameng oleh sang macan. Foto Cak Nun dicatut digabungkan dengan penggalan kalimat yang pernah Cak Nun ucapkan yang pemenggalan kalimat itu dibuat sedemikian rupa sehingga pembaca akan berkesimpulan bahwa Cak Nun membela Prabowo karena ia tidak punya kaitan dengan isu kelam penculikan di masa lalu. Kebohongan publik murahan yang pantasnya dilakukan oleh tikus atau marmut saja, bukan oleh macan.

Pembuat poster dan banner bergambar Cak Nun bertuliskan quote pembelaan atas Prabowo yang pemenggalan kalimatnya serba dipaksakan itu tidak berpikir bahwa itu hanyalah langkah suksesi yang sia-sia. Kalaupun mampu mendongkrak suara, berapa banyak sih suara yang bisa terdongkrak? Kalau metode pencatutan kalimat ini dipakai sepuluh tahun yang lalu mungkin masih ampuh, tapi kali ini masyarakat sudah terlalu cerdas untuk memilah informasi.

Maka, ini bulan Mei, bulannya tragedi kemanusiaan 1998. Dimana-mana beredar tagar #MenolakLupa. Sayapun memilih untuk menolak lupa, dan mengajak pembaca sekalian untuk regresi ke masa lalu, menilik kembali arsip-arsip tragedi kemanusiaan, Tragedi 1998, Hilangnya Widji Tukul dan para aktivis, Tragedi Tanjung Priok dan lain-lain.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca sekalian mencerdasi fenomena pencapresan, mulai dari mengamati fenomena pemberitaan terhadap dua nama besar di atas. Mana yang lebih baik diantara dua nama besar Capres itu bukanlah urusan saya. Yang menjadi kerisauan saya adalah, kenapa berita negatif tentang pencitraan, tentang inferioritas, tentang etnis begitu sexy dibahas, begitu asyik digelindingkan menjadi bola salju. Sementara adem ayem saja tidak pernah mengapung dipermukakan berita negatif tentang penculikan dan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan ketika memasuki bulan peringatan tragedi Mei 1998 kali ini sekalipun. Ada apa dibalik tidak berimbangnya pemberitaan media? Tidakkah merasa janggal bahwa hal itu berarti sedang ada hal tertentu yang sedang ditonjol-tonjolkan dan hal lain yang sedang disembunyikan. Mari kita ilmui dan cerdasi bersama.

Karena bagi saya aneh kalau topik pencitraan itu lebih enak dipergunjingkan, daripada topik tentang penculikan. [] Rizky/RedJS

Mukadimah: INSTAL ULANG

Seseorang berusia 36 tahun dihinggapi rasa cemas yang teramat sangat menyaksikan kondisi masyarakat pada masa itu. Pelanggaran akan tata nilai kemanusiaan, akibat syahwat kapitalisme segelintir orang menjadi penyebab semua itu. Hampir-hampir tidak terpikir solusi untuk mengubah keadaan.

Karena tidak mampu mendapati solusi, maka seorang berumur 36 tahun itu memilih nepen, menepi untuk berdiam diri di dalam gua di ketinggian bukit. Sang istri setiap hari dengan cintanya mendaki dan menuruni bukit mengiriminya bekal makanan.

Sampai empat tahun kegiatan itu dilakukan, sampai secercah ilham nan sempurna itu turun di dalam keheningan gua. Kemudian umat manusia mengenal ilham nan sempurna itu sebagai wahyu setelah di-warangka-i di dalam lafadz “Iqra Bismirobbikalladzi khalaq.”

***

Secara kualitatif, bolehlah kita mengkhuznudoni maiyahan yang kita lakukan ini sebagai bentuk lain dari semedi/uzlah Sang Nabi, manusia berusia 36 tahun itu yang resah tak mendapati solusi rasional atas keadaan masyarakat saat itu.

Dalam konteks kondisi masyarakat saat ini, sudah tidak dapat dinafikan bahwasanya tidak ada cara rasional yang bisa ditempuh, kalaupun ada membutuhkan waktu ratusan tahun untuk mengerjakan persoalan masyarakat yang sudah begitu kronis saat ini. Kesimpulan ini bukan untuk kita migrasi dari bumi ke langit. Karena kita tidak sedang putus asa.

Ilmu seluruh manusia dari Nabi Adam hingga akhir zaman, apabila dikumpulkan tak lebih hanya setetes air, dibandingkan ilmu Allah yang seluas samudera. Yang disebut cara yang rasional tidak lain adalah yang setetes air diantara samudera itu, ya, hanya setetes air. Bentuknya mungkin berupa protokol kebangsaan, perangkat sistem politik, formula social security,tapi mau serumit dan sehebat apapun itu, tetaplah itu hanya setetes air dari setakaran samudera.

Maka ketiadaan cara rasional itu, tidak bisa menjadi pembenaran untuk putus asa, karena kehabisan cara untuk mengubah kondisi bangsa saat ini. Masih ada sesamudera ilmu yang bisa kita jamah. Masih ada sesamudera kemungkinan, yang bisa kita tempuh.

Proses Muhammad Sang Nabi memilih memulai menepi untuk berdiam diri, adalah pintu ia mengakses kemungkinan yang bersumber dari samudera ilmu Allah di luar yang setetes itu.

Dengan dialektikanya, Allahpun turun tangan merespons akses yang diupayakan oleh Sang Nabi. Allah turun tangan bukan dengan mengirim sepaket protokol sistem ketatanegaraan jenis apapun, Dia turun tangan untuk urusan yang terlalu sederhana bagi para pengamat politik : “Bacalah, dengan Nama Tuhanmu Yang Menciptakan”.

Tolak ukur apa yang bisa melegitimasi bahwa wahyu Iqro itu adalah benar-benar dari Allah dan benar-benar merupakan solusi atas permasalahan bangsa pada masa itu? Entahlah, tidak tahu kita. Pengajian manapun tidak pernah mengupas hal ini.

Namun nyatanya, kalau bukan karena bertumpuknya literatur yang tersaji saat ini, tentu kita akan sulit sekali menkhuznudzoni proses yang demikian panjang, mulai dari dakwah sembunyi-sembunyi, dakwah terang-terangan, hijrah hingga membangun peradaban baru itu berawal dari turunnya wahyu sederhana itu yang didahului dengan proses berdiam diri semacam semedhi di dalam gua bertahun-tahun.

***

Mari kita mencoba memetik pelajaran dari peristiwa agung di atas, jika diimplementasikan pada situasi saat ini. Menyaksikan bagaimana LSM-LSM penggerak perubahan tergadai oleh uang donor, menyaksikan inovator dan inventor dibunuh karakternya bahkan direnggut nyawanya demi penguasa bumi bernama “The Invisible Hands” saat ini. Karena betul memang, mengubah Indonesia bukan hanya mengubah sebuah bangsa, tetapi mengubah Indonesia berarti mengubah tatanan dunia.

Maka kita tidak sedang terburu-buru mendirikan Negara Madinah, karena sepertinya fase kita saat ini barulah fase pra-hijrah. Atau bahkan masih fase dakwah sembunyi-sembunyi. Malahan mungkin sekarang barulah fasenya naik-turun gua Hiro.

Persoalannya adalah, okelah kita mengakui bahwa fase kita saat ini masih di fase naik-turun gua hiro, mengakses potensialitas Allah menurunkan segayung samudera Ilmunya berharap itu bisa menjadi solusi persoalan kita. Namun, jika benar begitu, butuh berapa puluh tahun lagi untuk mengubah tatanan bangsa ini? Apakah kita mampu melewati waktu yang demikian lama hingga puluhan bahkan ratusan tahun? Kondisi darurat sosial kefakiran, konflik buruh migran, keputus-asaan yang berujung bunuh diri dan bencana-bencana kemanusiaan apakah harus kita biarkan terus memakan korban?

Lalu adakah yang bisa dijadikan penanda sebetulnya kita sedang di fase mana dalam konteks proses perubahan Indonesia saat ini, kemudian tingkat keberhasilan di fase kita saat ini bagaimana mengukurnya, lalu mungkinkah kita melakukan percepatan fase, dan seterusnya. Hal itu masih menjadi bahan diskusi kita bersama.

Akan tetapi tidak usah berbicara percepatan dulu lah, memastikan bahwasanya kita bermaiyah itu sudah benar adanya atau belum saja belum tahu kok. Apakah kita bermaiyah dalam rangka kesetiaan kita menjalani fase demi fase ini, atau jangan-jangan bukan dalam rangka itu.

***

Yang juga musti kita sadari, kita menginstal operating system bernama Indonesia itu kan CD installernya pinjam, makanya dari trias politika sampai KUHP-nya agak-agak kurang kompatibel. Maka instal ulang adalah solusinya.

Sayangnya, CD instal ulang yang kompatibel dengan bangsa ini sudah lenyap sepeninggal Kalijaga Sang Sunan dengan konspesi Nusantaranya. Karena CD instal ulang yang kompatibel tidak tersedia, maka satu-satunya jalan adalah kita harus mengoprek sendiri, membuat rekayasa registry, mencerdasi command prompt. Yang kesemuanya itu baru bisa kita kerjakan kalau kita sudah belajar “bahasa pemrograman”.

Dan inilah yang dilakukan oleh “The Invisible Hands”, mereka menyandera “bahasa”. Kata Belajar disandera oleh sekolah, kata kemakmuran disandera oleh Bank, kata kesehatan disandera oleh rumah sakit, kata kesejahteraan disandera oleh perusahaan otomotif, kata kemajuan disandera oleh mall.

Istilah “mbangun desa” diartikan dengan semua jalan di desa-desa dipaving block, pohon-pohon ditebangi. Makna “memajukan negara” dianggap memampukan diri berfoya-foya seperti Singapura dengan gaji rakyatnya 12juta perbulan. Inilah saatnya kita melepaskan pembajakan kata, istilah dan kalimat, sehingga kita menangkap arti, makna dan nuansa yang bebas, merdeka dan memberdayakan.

Maka bolehlah kita menerka-nerka, bahwa di fase gua hiro saat ini kita disuruh intens mempelajari “bahasa pemrograman”, mencerdasi kata yang tersandera, mencerdasi istilah yang termanipulasi, mencerdasi kalimat yang tergadai.

Maka, kita nanti akan tiba pada saatnya lulus dari fase ini, ketika kita membaca kata, istilah, kalimat bukan dengan motif memperkaya diri, bukan dengan motif memuaskan syahwat kerakusan, bukan dengan motif mengejar kenyamanan diri sendiri, bukan dengan motif ikut-ikutan belaka, bukan dengan bius dan buaian propaganda zaman, bukan dengan bujuk rayu konspirasi global, tapi dengan Nama Tuhan Yang Menciptakan. [] Rizky/RedJS