Kita mengakses informasi di masa lalau, salah satu alatnya adalah menggunakan kata-kata. Namun, kata-kata yang merupakan instrumen linguistik adalah alat yang valid tetapi terlalu sederhana, penuh keterbatasan. Itulah kenapa ketika orang mengakses perkataan di masa lalu, orang seringkali berdebat dalam hal tafsir.
Kasus sederhana sebagai contoh saja, seorang simbah meninggalkan secarik tulisan “cucuku, belilah tali tambang yang panjang 20 meter lalu gunakanlah untuk hal yang bermanfaat”. Lalu cucu-cucunya, mendiskusikan kata-kata simbah itu. Diskusi berujung debat yang memanas dikarenakan di warung didesa itu hanya tersedia tali tambang yang maksimal panjangnya hanya 10 meter.
Debat yang memanas itu agaknya berpotensi untuk mereda setelah sang paman datang. Si Paman yang sangat dekat mengenal simbahnya itu bercerita “Simbahmu dulu itu hobinya membuatkan jemuran baju untuk tetangga-tetangganya. Untuk satu jemuran yang simbahmu buat, dia butuh tali 5 meter. Sudah kalian beli tali 10 meteran saja dua, terus dipotong-potong 5 meteran agar jadi 4 jemuran, karena pesan simbahmu untuk beli 20 meter tali tambang itu adalah maksudnya simbahmu ingin cucu-cucunya membuatkan jemuran untuk 4 tetangga-tetanggamu.”
“ooooh….begitu to paman”, sahut para cucu-cucunya. Para cucu tersebut mengikuti perkataan pamannya dengan tidak banyak cing-cong, mereka ber-taqlid kepada pamannya itu. Sebetulnya tidak ada paksaan para cucu untuk taqlid, kritisi saja itu perkataan si paman, cari referensi tulisan2 lain dari simbahnya, investigasi kata demi kata secara mendalam, untuk menjamin bahwa yang si paman sampaikan itu benar adanya atau tidak.
Tapi ketika referensi linguistik sudah tidak tersedia, mau bagaimana proses investigasi itu dilakukan? Tidak ada pilihan lain, selain taqlid kepada si Paman. Tapi, para cucu itu sebelum taqlid, tahu betul bahwa si paman adalah mengenal dekat simbahnya, dia tahu konstelasi hati dan rasa simbahnya, bukan asal njeplak.
Taqlid itu boleh dan sah-sah saja kok. Yang tidak boleh kan penyalahgunaan taqlid. Penyalahgunaan taqlid disebut taqlid buta, disuruh pak ustadz pakai celana panjang nurut, disuruh memakai lengan pendek nurut, padahal sudah kenal betul si ustadz itu memiliki sinkronisasi hati dan rasa dengan junjungan kita yang sejati belum? janganlah jadi ‘blind muqolid’ yang taqlid buta kepeada seorang tokoh. taqlid melek saja.[] Rizky Dwi Rahmawan