JUGURAN SYAFAAT melakukan upaya menghidupkan kembali budaya menggali. Misalnya tentang fenomena Idul Fitri.
Islam bukanlah agama kerahiban, dimana tuntunannya hanya seputar penyepian, tirakatan, dan anti-keduniawian. Tuntunan seputar Idul Fitri menjadi anomali dari semua itu. Nabi SAW menghendaki kita merayakan hari pertama sesudah bulan Ramadhan ini dengan gegap gempita :
- Berbondong-bondong Sholat Ied di tanah lapang luas
- Memakai pakaian yang paling bagus (walau tidak harus baru)
- Menyiapkan santapan. Setiap orang harus bisa makan pada hari itu.
Itulah betapa hari raya harus benar-benar kita rayakan.
Sayangnya, tuntunan yang indah dari Nabi SAW mengenai Idul Fitri ini kini telah sedemikian rupa dikomoditasi oleh sang pemilik modal. Dengan jelinya sang pemilik modal melakukan ‘perampokan’ massal, dalam rangka mobilisasi uang dari masyarakat kepada mereka melalui berbagai aktivitas transaksi jual beli komoditas atribut seputar Idul Fitri.
Walhasil, Idul Fitri bergeser menjadi lebaran. Kegegapgempitaan mengamalkan tuntunan Nabi SAW bergeser menjadi pesta yang hedonistik. meng…nge…ri…kan..
Ketika sang pemilik modal dengan jelinya melakukan komoditasi Idul Fitri demi mobilisiasi uang. Maka, Maiyah tidak boleh kalah jeli. Maiyah tidak boleh mengelus dada kesesakan nafasnya akibat paranoid melihat fenomena ini. Karena sikap paranoid akan berpotensi membawa pada terjadinya fenomena “amputasi sosial”.
Apa amputasi sosial yang dimaksud? Yakni, niatnya memberantas hedonistiknya pesta, tapi malah menghapuskan ke-raya-annya hari raya Idul Fitri. Tidak, tidak bisa begitu, hari raya tetaplah harus raya.
Maka inilah PR kita bersama, untuk mengayak hedonisme yang ada di dalam hari raya, tapi tetap menjaga raya nya hari raya, jangan kekayaan sosial hari raya diamputasi menjadi sepi, tidak lagi raya. [] Rizky Dwi Rahmawan
:: Rizky Dwi Rahmawan | @Rizky165 ::