Prinsip Dasar Ahlul Bid’ah Wal Jamaah

Kini lahir golongan yang mengaku dirinya Ahlul Bid’ah wal Jamaah. Ciri-cirinya adalah membeli kaos bertuliskan “Ahlul Bid’ah Wal Jamaah” lalu kemudian memakainya. Sepertihalnya shampo yang bertuliskan menghilangkan ketombe dalam 7 hari, dan ternyata shampo itu tidak menghilangkan ketombe, maka pelajarannya adalah kita jangan tertipu kemasan, karena yang memakai kemasan/penampilan kaos ahlul bid’ah tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang yang memakai kaos itu benar-benar ahlul bid’ah.

Konon kabarnya, lahirnya golongan ahlul bid’ah itu adalah karena diantara mereka ada yang mempelajari tentang lawan dari bid’ah, yakni sunnah. Sebelum berlanjut jauh, jangan-jangan ada yang belum tahu apa itu bid’ah dan apa itu sunnah. Jika sunnah adalah apa-apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, maka bid’ah adakah kebalikannya, yakni apa-apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah. Untuk menjadi seorang Ahlus Sunnah, haruslah mengetahui prinsip-prinsip dasarnya. Setidaknya ada tiga prinsip dasar Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Pertama : Mengagungkan Al Quran. Dalilnya adalah “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Hujurot [49]: 1).

Dari ayat tersebut kita diperintahkan untuk tidak mendahului Allah, ditafsirkan oleh Ibnu Katsir Rahimahullah mengutip perkataan Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah tentang yang dimaksud ayat tersebut yakni tidak mendahului perkataan dan perbuatan Allah dan Rasulnya. Karena perkataan Allah termanifestasi dalam bentuk Al Qur’an, maka sebagai ahlus sunnah, dilarang keras kita mendahulukan perkataan kita sendiri, daripada perkataan Al Qur’an. Maka jelas, ciri ahlus sunnah adalah tunduk pada nash-nash syar’i yang terdapat dalam Al Qur’an.

Lalu apakah orang yang tunduk mengagungkan Al Qur’an dan tidak pernah mendahulukan perkataannya sendiri dari Al Qur’an sudah layak mengklaim dirinya sebagai seorang ahlus sunnah? Jawabannya : Kalau memang sudah bergitu berarti dia sudah bisa mengklaim dirinya sebagai ahlus sunnah. KALAU, Allah hanya berkata melalui nash-nash kauliyah Al Qur’an.

Nyatanya Allah berkata tidak hanya melalui nash-nash Al Qur’an, tapi melalui semua makhluk-makhluknya, peristiwa demi peristiwa, ide dan ilham, ingatan dan besitan pikiran. Allah berkata dalam intensitas waktu yang entah sehari berapa puluh, ratus bahkan juta kali kepada satu, seribu bahkan semilyar manusia.

Orang-orang yang membeli kaos ahlul bid’ah wal jamaah ini memahami perkataan Allah itu melalui begitu banyak hal di atas, maka sampai pada mereka menyadari bahwa “aku tidak akan pernah bisa menggaransi bahwa aku tidak pernah mendahului perkataan Allah. Padahal itu adalah syarat seorang disebut ahlus sunah. maka aku tidak pantas menyebut diriku ahlus sunnah wal jamaah, bisa jadi aku kebalikannya, karena entah berapa banyak dan berapa sering perkataan Allah yang aku belakangkan dan aku abaikan.

Prinsip dasar yang kedua adalah bersandar pada perkataan Rasulullah. Dalilnya adalah : “Dahulu, kalau kami mendengar salah seorang berkata, “Telah bersabda Rosululloh Shallahu ‘alaihi wa sallam”, maka kami buru-buru memandangnya dan telinga pun kami pasang baik-baik. Akan tetapi setelah manusia bercampur antara yang jujur dan pen-dusta, maka kami pun tidak mau mengambil hadits kecuali dari orang-orang yang kami kenal.” (HR. Muslim).

Jack Dorsey terlambat lahir, seandainya ia lahir satu setengah milenium yang lalu, tentu apa-apa yang menjadi sabda Rasulullah terrekam sempurna dalam akun twitter beliau. Kalau masa 100 tahun disebut tiga generasi, maka sudah terbentang jarak 45 generasi antara kita dengan Rasulullah. Sepanjang itulah perjalanan untuk sampainya sebuah teks hadits shahih sebelum hadits itu kita konsumsi dan kita kultivasi.

Prinsip ahlus sunnah wal jamaah yang ketiga adalah : benar dalam memahami nash-nash. Untuk memahami ini mari kita sederhanakan untuk menemukan polanya. Jangan 45 generasi dulu, cukup 4 generasi dulu. Bagaimana Anda bisa memahami pesan yang pernah disampaikan oleh eyang buyut Anda yang sudah meninggal? Cara yang paling mudah adalah dengan mematuhi generasi terdahulu. Siapa generasi terdahulu itu? Yang termasuk generasi terdahulu adalah misalnya eyang Anda, mbah gedhe (kakaknya eyang) atau mbah cilik (adiknya eyang) Anda. Atau bisa juga pakde atau paklik Anda yang pernah bersentuhan dengan kepribadian eyang buyut anda melalui bapak, pakde dan paklik mereka yang notabenennya adalah anaknya eyang buyut Anda.

Pakde, paklik, bude, bulik Anda bisa disebut generasi terdahulu untuk mengakses pesan eyang buyut anda, bisa juga tidak. Bisa disebut generasi terdahulu, bila mereka memiliki kesambungan informasi tentang kepribadian dan rasa yang dimiliki eyang buyut Anda semasa hidup. Tetapi tidak bisa disebut generasi terdahulu apabila mereka tidak punya kenyambungan itu. “Eyang buyut kamu dulu itu hatinya sangat lembut, makanya dia suka sekali melukis, karena suka melukis makanya kamu lihat sekarang peninggalan kanvas dan cat-cat minyaknya banyak”.

Kalau dia bukan generasi terdahulu, maka dia hanya bisa bercerita bahwa rumah peninggalan eyang buyut sumpek dengan kanvas dan cat minyak. Tapi kalau dia generasi terdahulu, dia memahami rasa yang menjadi kepribadian eyang buyut : hatinya sangat lembut. Generasi terdahulu, dalam bahasa arab disebut salaful ummah.

Nah, kita akan berpotensi benar dalam memahami peninggalan mbah buyut, ya melalui penjelasan dari salaful ummah yang memahami mbah buyut dari sisi rasa dan kepribadian. Begitupun, kita akan berpotensi benar dalam memahami warisan Rasulullah dalam bentuk hikmah-hikmah kebaikan, ya melalui generasi terdahulu yang memiliki sinkronisasi rasa dan hati dengan Rasulullah. Maka tidak ada pilihan lain selain kita mengacu pada generasi terdahulu atau salaful ummah.

Persoalannya sekarang, bagaimana mengidentifikasi dan menggaransi seseorang disebut salaful ummah dan bukan? Karena tidak semua orang terdahulu dijamin sinkron hati dan rasanya dengan Rasulullah. Begitupun, orang yang hidup bukan di zaman dahulu tapi di zaman sekarang, bisa jadi memiliki sinkronisasi hati dan rasa dengan Rasulullah.

Jamaah yang memilih mengenakan kaos ahlul bid’ah wal jamaah menyadari bahwa umat Muhammad sampai hari ini belum mampu membuat penemuan alat ukur untuk menentukan seorang itu sinkron atau tidak hati dan rasanya dengan Rasulullah, maka dengan tidak adanya alat itu, tidak ada yang bisa menggaransi seorang bisa disebut salaful ummah yang kalau diikuti akan membuat kita menjadi berhak menstempel diri sebagai ahlus sunnah wal jamaah.

Buat apa si menstempel diri begitu. Rasa-rasanya toh apa si butuhnya kita atas pengakuan orang bahwa kita Ahlus sunnah wal jamaah, toh yang penting satu-satunya atas hal itu kan pengakuan dari Allah semata. Apa memang ego kita yang ingin dikenal orang sebagai ahlus sunah wal jamaah?

Dan kalau kita terbesit untuk mencaci maki mereka yang mengaku-ngaku dirinya ahlul bid’ah, apa itu tidak sama dengan artinya kita mencaci Nabi Yunus AS yang mengaku-ngaku dirinya orang dzolim? Lailaha illa anta subhanaka inni kuntum minadh dholimin “ (QS al anbiya ;87). [] Rizky Dwi Rahmawan

Previous ArticleNext Article