Pada awalnya orang makan roti. Kemudian mereka dipaksa untuk makan tai. Keterpaksaan makin akut sampai akhirnya orang harus memaksakan diri merasakan tai yang mereka makan terasa menjadi roti. Kejadian ini kemudian turun pada generasi berikutnya, pada generasi berikutnya orang sudah tidak bisa membedakan lagi mana roti dan mana tai.
Turun lagi ke generasi berikutnya. Yang tersedia hanya tai. Dan mereka menganggap tai itu roti. Ketika mereka disuguhi roti, mereka malah marah-marah. Begitulah gambaran sebuah masyarakat yang telah mengalami pengkaburan nilai berkepanjangan. Kalau kejadian ini terus tidak dihentikan, apa yang akan terjadi pada generasi-generasi selanjutnya?
materialisme dan imaterialisme kini telah kabur letaknya di peta kehidupan kita. Entah kita sekarang diposisi generasi berapa tingkat keparahan kaburnya, sehingga individu-individu semacam kita saat ini hanya berhasil menghasilkan akumulasi kelompok masyarakat yang entah sakit, entah sehat. Di masyarakat kita, kini materialisme telah mendominasi. Bahkan menjadi semacam ‘azaz tunggal’.
‘Wong mati ora obah, yen obah medeni bocah. Wong urip nggolet duit’, begitu tembang Sluku-sluku batok dinyanyikan. Hanya sebatas nggolet duitlah visi besar hidup. Makanya kita tidak sulit saat ini menemukan materialisme dalam berbagai bentuk dan stratifikasinya. Ada cewek matre, pejabat matre, dokter matre, bahkan hingga ulama matre.
Herannya sebagian kita masih ada yang nyaman-nyaman saja hidup ditengah materialisme yang telah mewabah, telah menjadi pageblug. Bahkan malah kita ikut arus dengan latahnya. Sehingga, kisah Bima mencari Kawruh Sejatining Urip hanya sebatas kita kenal di pewayangan belaka. Alah mustahil menemukan sejatining urip, yang penting sekarang sebelum mati medeni bocah, nggolet duit saja yang banyak.
Siang hari bekerja berharap mendapatkan gaji, malam hari beribadah berharap mendapatkan surga sebagai imbalannya. Bukan salah mengharapkan imbalan surga, tapi akan menjadi salah kalau surga dimaterialisasikan sedemikian rupa sehingga seolah-olah itu adalah ujung akhir yang kita perjuangkan. Maka tidak aneh sekarang kita kalau mendapati orang mengejar surga, tapi kok dengan bengis begitu, bukannya dengan kasih sayang. Mereka memarjinalkan diri, merasa benar sendiri, menganggap yang lain bodoh, membatasi ruang peningkatan ilmunya, dan merasa sudah berhak atas surga. Bagi orang-orang macam itu, surga dalam benaknya adalah sebuah materi. Materi yang harus mereka gondol. Salah memahami tujuan dan salah memilih cara menuju tujuan adalah dampak dari materialisme yang telah mewabah menjadi sebuah pageblug ini.
Dampak berikutnya dari pageblug yang kebanyakan orang tidak menyadarinya ini adalah ketergantungan kita kepada hal-hal yang bersifat materi. Kita hidup tergantung pada gadget, kita hidup tergantung pada uang. Tidak ada gadget uring-uringan, tidak ada uang pusing bukan kepalang. Segala cara ditempuh untuk mendapatkan gadget terbaik dan uang sebanyak-banyaknya. Seolah-olah gadget dan uang adalah sumber kehidupan, sampai lupa bahwa yang membuat kita hidup itu bukan dua hal itu, tetapi nafas. Sehingga merasa tidak penting mengenali nafas ini yang membuat keluar masuk di hidung di tubuh sebelah mana ya penggeraknya? kemudian siapa Yang Menggerakkan?
Selain tergantung pada karya-karya teknologi manusia seperti dua hal tersebut, kita juga menjadi gagap tidak bisa mengenali teknologi Tuhan yang ada di dalam diri kita, yang tidak perlu diriset lagi tinggal diaktivasi. Telepati dianggap mistik, self-healing dipercaya ada campur tangan jin, pemetaan karakter dengan personality plus disebut musyrik. Seperti mobil mewah bahkan lebih mewah fitur teknologi yang tertanam dalam diri kita, tetapi kita tidak bisa menggunakannya, karena memang kita sedang meriang, ketungkul mengelap ‘umbel‘ materialisme. [] RedJS