Yang berbau global dianggap keren, yang berbau lokal dianggap norak. Globalisasi dijunjung oleh semua penjuru, sedangkan lokalitas dipinggirkan hingga tak punya ruang. Padahal tahukah darimana sesuatu yang ditakdzimi sebagai globalisasi itu berasal? Budaya kemeja yang mengglobal misalnya, bukankah kemeja adalah budaya lokal di Eropa sana yang kemudian dikampanyekan sedemikian rupa dalam kurun waktu tertentu sehingga sekarang menjadi budaya global?
Kemeja yang merupakan kekayaan lokalitas Eropa bisa mengglobal, sedangkan baju surjan yang merupakan kekayaan lokalitas Jawa justru terpinggirkan. Mengapa terjadi demikian? Hal itu terjadi karena keduanya dipersaingkan dan dipertandingkan secara tidak sadar dalam keseharian masyarakat. Ada yang menggotong kemeja secara bahu-membahu, sedangkan kita yang tidak sadar adanya proses persaingan dan pertandingan itu adem ayem saja dalam mengusung surjan.
Dan hal tersebut terjadi hampir menyeluruh di setiap sendi zaman, bukan hanya baju, tetapi musik, arsitektur hingga sistem sosial antar lokalitas-lokalitas dipersaingkan satu sama lain. Maka, kalau kita ingin menjadi bagian dari arus primer globalisasi, usunglah kekayaan lokalitas kita, kenalkan kelebihannya dan kampanyekan keunggulannya, sehingga arus globalisasi dapat diisi oleh kekayaan lokalitas kita. [] Rizky Dwi Rahmawan