Ada dua orang, si A dan si B yang sama-sama berhutang 100 juta kepada seseorang. Kedua-duanya sangat miskin, tidak mungkin mampu membayar hutang itu. Si A datang dengan gagah dan pedenya “wahai, saya datang kemari mau melunasi hutangku kepadamu”, si pemberi hutang menyambut, “ya baik. berapa uang yang kamu bawa untukku?”, lagi dengan pedenya si A menjawab “aku bawa 50ribu”.
Sementara Si B datang dengan penuh rasa bersalah “wahai, maafkan saya, saya mengaku bahwa saya tidak bisa melunasi hutang-hutang saya, karena itu saya ridho kalau barang-barang yang saya miliki mau diambil, terserah”.
Dari tingkah dua orang itu, lalu bagaimana reaksi si pemberi hutang? Si A pun dimarahi habis-habisan “sampeyan punya uang 50ribu saja lagaknya mau melunasi hutang”. Sementara Si B, “ya sudah tidak apa-apa, aku berterima kasih kamu mau mengaku dan berani datang kepadaku”. Si B sedikit tersenyum mendengarnya, lalu si pemberi hutang melanjutkan ucapannya “tapi, sepeda motor bututmu di rumah aku ambil jadi milikku ya. hutangmu aku anggap lunas nanti.”
Apakah si B marah sepeda motornya diambil? Kalau marah ya namanya tidak tahu diri. Orang sepeda motor butut itu setimpal dengan lunasnya hutang dia yang begitu besar. Maka justru yang terjadi adalah dia merasa senang, “oh silahkan-silahkan, kalau perlu ambil tivi saya, lemari, perabot, saya berterima kasih sekali atas kemurahhatiannya”.
Begitulah, Si A adalah perumpamaan orang-orang yang datang kepada Allah membawa amal, membangga-banggakannya, merasa hasil ibadahnya sangat istimewa, padahal tidak ada nilainya dihadapan Allah. Sementara si B adalah perumpamaan orang-orang yang datang kepada Allah bukan menyetorkan amal, tapi datang membawa dosa dan rasa bersalah, “La ilaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadzholimin”. Dengan itu, mudah-mudahan Allah membatalkan tagihannya atas dosa-dosa kita dengan tetap tidak mengingkari kemungkinan adanya modus penyeimbangan, yang semoga adalah seringan-ringan penyeimbangan.
Bagaimana agar mendapatkan modus penyeimbangan dari alam seringan mungkin? caranya adalah dengan setorlah hal-hal yang menuju keseimbangan alam, jangan menunggu alam menagih terlebih dahulu kepada kita. [] Rizky Dwi Rahmawan