Haji Patriot Tanah Air

Infrastruktur, kata ini mendadak menjadi demikian ramai di media massa dan media sosial. Ya, infrastruktur menjadi salah satu fokus pembangunan yang dikerjakan oleh pemerintahan era saat ini. Pemerintah kita nampaknya tak mau tertinggal oleh negara-negara maju yang terus kian maju sebab tertopang oleh terbangunnya infrastruktur dengan baik. Tak dapat dipungkiri, infrastruktur memiliki peran signifikan terhadap kemajuan yang hendak dicapai sebuah bangsa.

Hasil dari pembangunan infrastruktur juga nyata terlihat. Terkadang begitu megah dan wah, mencirikan sebuah pencapaian kemajuan. Namun demikian, tak dapat dipungkiri pula bahwa membangun infrastruktur berarti harus menyediakan porsi alokasi yang besar dalam anggaran belanja yang ada.

Bagi negara-negara maju, porsi anggaran yang besar untuk infrastruktur tak bermasalah pada postur anggaran belanja mereka. Tetapi latah mengikuti mereka, negara-negara yang notabenenya masih pada taraf berkembang macam kita ini bisa kepunthal-punthal kewalahan.

Lalu menyeruak kabar di tengah gencarnya infrastruktur dibangun di negara ini, pemerintah ngempos kekurangan dana. Kolong dipan dan rak-rak anggaran semua disisir, barangkali ada dana-dana yang bisa digunakan untuk menambal kekurangan.

Bersamaan dengan kesibukan sebagian warga melaksanakan prosesiwalimatus safar alias upacara pelepasan untuk berangkat haji ke tanah suci, keberadaan dana haji kemudian menjadi buah bibir. Presiden sempat terbetik untuk siapa tahu dana haji dapat digunakan untuk menyambung pengerjaan proyek-proyek infrastruktur.

Dana haji dimaksud adalah dana abadi umat. Dana abadi umat adalah dana yang dikumpulkan pemerintah Indonesia dan diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Diketahui, berdasarkan hasil auditor 2016, dana haji baik setoran awal, nilai manfaat dan dana abadi umat tercacat mencapai Rp 95,2 triliun dan diperkirakan hingga akhir 2017 bisa mencapai Rp 100 triliun lebih. Jumlah yang sangat fantastis, dengan dana sebesar itu dapat untuk memberangkatkan haji gratis selama 13 kali musim haji.

Ibadah haji merupakan rukun Islam ke-5. Ibadah yang sungguh dicita-citakan umat. Dua kota suci umat Islam dibangun kian prestisius demi pelayanan terbaik kepada jamaah haji persembahan dari Raja yang mengemban amanat sebagai khodimul haramain (penjaga dua kota suci).

Apabila menilik sejarah, sebelum dua kota suci ini dikelola oleh negeri makmur Saudi Arabia, pengelolaannya di-sengkuyung bersama oleh negeri-negeri kaum muslimin.  Pernah pada masanya gubernur kota-kota suci tersebut memohon sokongan dari berbagai Kerajaan dan Kesultanan Islam. Salah satunya adalah dari Kesultanan Aceh yang turut menyumbangkan diantaranya lampu-lampu untuk dua masjid suci umat Islam tersebut.

Sokongan Kesultanan Aceh tersebut mengalir berkahnya hingga hari ini. Jamaah haji dari Aceh menempati asrama tersendiri milik mereka serta mendapat uang saku tambahan dari bagi hasil atas properti yang mereka miliki tidak jauh dari Masjidil Haram.

Selain tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji yang dibangun kian prestisius. Hal prestisius lainnya adalah hak menyandang gelar “H” setelah sepulang dari tanah suci. Walaupun hal itu hanya berlaku di Indonesia. Perjalanan haji pun kini merupakan perjalanan yang lux, menggunakan pesawat milik salah satu maskapai terbaik dunia yang dimiliki Indonesia. Serta dengan pelayanan hotel dan katering yang kian membaik dari tahun ke tahun.

Namun yang esensial dari prestisiusnya ibadah haji adalah sebab ibadah tersebut merupakan puncaknya Rukun Islam. Kalau dianalogikan syahadat sebagai pondasi, kemudian sholat itu tiangnya, lantas puasa adalah dinding-dindingnya, serta zakat adalah jendela, maka menjadi sempurnalah keislaman seseorang setelah dicungkupi atau diatapi oleh haji.

Maka haji menjadi manifestasi puncak dari kualitas ruhaniah seseorang. Pemaknaan ini setidaknya begitu mendalam dirasakan oleh calon jamaah haji dari Indonesia. Sebab perjalanan haji sungguh jauh berbeda dari aktivitas travel planning ala-ala pelancong alias wisatawan.

Sebab, sebelum seseorang mendapat kesempatan berangkat haji, ia harus menyetorkan kesabaran belasan bahkan puluhan tahun untuk bisa berangkat. Haji menjadi puncak kualitas ruhaniah setidaknya dialami oleh masyarakat Indonesia. Setidaknya 20 tahun menunggu untuk pendaftar haji yang telah menyetorkan dananya hari ini, itu untuk wilayah Jawa Tengah. Beberapa wilayah lain lebih pendek, bahkan lebih panjang. Adapun kuota yang diberikan pemerintah Saudi untuk calon haji Indonesia tahun ini adalah sebanyak 221.000 jamaah.

Maka perjalanan menaiki pesawat, berdiam di Jabal Nur dan mengitari Ka’bah bisa jadi merupakan perjalanan hakikat. Sebab hakikatnya seseorang sudah berhaji ketika ia sudah menyetorkan niat dengan segenap kesempurnaan kesabaran dan keikhlasan untuk menyetorkan biaya nomor porsi haji. Setidaknya itu adalah sebuah cara pandang ber-khuznudhon atas demikian tingginya animo masyarakat Indonesia untuk berangkat haji.

Oleh karenanya, keikhlasan menaruh dana puluhan tahun sembari menunggu tiba giliran berhaji hendaknya tidak perlu ditambahi oleh tuntuan untuk keikhlasan ekstra dari umat atas penggunaan dana abadi umat bagi kepentingan pemerintah. Bukan berarti pemerintah dengan ambisi infrastrukturnya itu tidak perlu didukung. Akan tetapi, apakah ketika Presiden terbetik gagasan pengalokasian dana haji untuk proyek-proyek tersebut sudah benar-benar melakukan kajian skala prioritas. Sebab jangan-jangan ada persoalan umat yang lebih membutuhkan dari lumbung dana sebesar seperduapuluh dari besarnya APBN negara kita.

Atau memang perlu dikaji bahwa jangan-jangan saat ini kita perlu mencanangkan program haji sosial. Istilah haji sosial berangkat dari sebuah hikayat mahsyur yang mengisahkan ada seorang yang hendak berangkat haji, tetapi kemudian ia menunda keberangkatannya sebab ia tergerak menggunakan ongkos naik hajinya untuk membantu tetangganya yang didera darurat sosial. Kemudian orang tersebut pun mendapat keutamaan mabrur sekalipun gagal berangkat haji ke Baitullah secara fisik.

Maka, jika memang pemerintah butuh ditolong, sebab ada kondisi darurat sosial, jangankan dana abadi umat, bahkan mungkin dana endapan nomor porsi haji yang panjangnya 20 tahunan itupun mungkin bisa dimohonkan kepada umat untuk diminta dikeluarkan dari bank dan disumbangkan bagi negara. Andaipun hal itu terjadi, mungkin mereka tetap rela gagal berhaji secara fisik berangkat ke Makkah, toh kemudian mereka berhak menyandang predikat mabrur sebagai haji patriot tanah air. Sebuah pengembangan istilah dari haji sosial. [] Rizky Dwi Rahmawan