Reportase: FESTIVAL PARADESA

Setelah bulan lalu Juguran Syafaat mengambil tajuk “Freenomics”, bulan ini Juguran Syafaat menambil tema “Festival Paradesa”. Ini merupakan diskusi berkelanjutan, dimana sebelumnya kita membahas sistem ekonomi yang bisa membebaskan kita dari uang, maka selanjutnya adalah hubungan apa yang diperlukan agar sistem ekonomi itu bisa terbangun.

Sedari sore penggiat Juguran Syafaat sudah mempersiapkan pagelaran “Festival Paradesa”. Pagelaran ini dihiasi dengan beberapa seni instalasi karya sendiri yang berbahan dari janur kelapa (daun kelapa yang masih muda) dan juga hasil bumi pedesaan seperti buah-buahan, sayuran hingga kelapa. Beberapa obor dipasang mengelilingi pendopo Wakil Bupati Banyumas menambah kesan pedesaan.

Reramaian seperti ini memang disengajakan pula untuk merayakan 2 tahunnya Juguran Syafaat. Janur kelapa bagi orang desa dilambangkan sebagai perayaan hajat, dan ini pula yang sedang dilakukan oleh para penggiat Juguran Syafaat. Selain seni instalasi, beberapa sajian kesenian diantaranya dari tim musik Ki Ageng Juguran, Padepokan Cowongsewu, Teater Sianak dan Teater Didik siap untuk meramaikan suasana.

Seni Yang Bukan Hanya Seni

Sedulur-sedulur sudah mulai hadir dan merapat ke lingkaran Juguran Syafaat. Tepat pukul 21.00 WIB, acara dimulai dengan membaca Al Quran secara tartil dan dipimpin oleh Kukuh. Dilanjutkan dengan Tarhim dan Wirid Padhang Bulan yang dipimpin oleh Ujang dan Ki Ageng Juguran.

Musik dari Ki Ageng Juguran mengawali pagelaran pada malam hari ini dengan membawakan parade musik yang bertemakan desa. Nomor-nomor lagu yang dibawakan antara lain : “Desa” karya Iwan Fals, “Kehidupan Yang Hilang” karya Agus Sukoco, “Desaku Yang Kucinta” karya El Manik, “Apa Ada Angin di Jakarta” karya Umbu Landu Paranggi, “Rumah Kita” karya Godbless, “Pak Tani” karya Koes Plus, dan “Senandung Desa” karya Agus Sukoco. Kusworo memberikan sedikit pengantar disetiap nomor lagu yang akan disajikan.

Teater Sianak dari FISIP Unsoed mempersembahkan degan apik monolog yang diperankan oleh Oki. Monolog ini menyajikan tentang kritik sosial atas pemerintah yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Ini sebuah bentuk penyadaran atas hak-hak apa saja yang sebenarnya kita miliki ketika menjadi rakyat dan sebenarnya kewajiban apa saja yang diemban oleh pemerintah.

Pertunjukan berikutnya disajikan secara apik dan humor oleh Padepokan Cowongsewu yang digawangi oleh Titut Edi. Malam hari ini, Titut Edi membawakan seni wayang cumplung, dimana dia berperan sebagai dalang dan pemeran yang lain sebagai wayang yang dikendalikan oleh Titut Edi sendiri. Para sedulur yang hadir terhibur atas pertunjukan ini, karena merupakan karya orisinil dengan bahasa dialek banyumasan yang khas. Disamping itu setiap adegan dan percakapannya diselingi humor yang tidak habis-habis.

Diakhir pertunjukkan, terdapat adegan Begal Tenongan, dimana kemudian sedulur yang hadir dipersilakan untuk menikmati hidangan yang sediakan oleh para penggiat yang diwadahi dalam tenongan bambu. Tenongan disini berisi jajanan khas pasar desa, yang berfilosofi segala hasil bumi desa dikumpulkan dalam satu wadah kemudian dibagikan kepada semua masyarakat desa, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.

Teman-teman dari Teater Didik IAIN Purwokerto tak lupa urun tunjuk sebuah pergelaran tetaer pendek. Dimana didalamnya memuat kritiknya atas lahan-lahan desa yang sekarang ini dibangun menjadi pabrik, minimarket dan juga perumahan. Pertunjukan ini dibungkus apik dengan perpaduan gerak dan musik yang sangat harmoni.

Refleksi Pagelaran

Juguran Syafaat kali ini lebih banyak memproporsikan pagelaran kesenian sebagai bentuk perayaan atas hajat 2 tahunnya Juguran Syafaat. Dan sesi diskusi kali ini lebih membaca refleksi dari pagelaran-pagelaran seni yang tadi sudah ditampilkan.

Telah hadir didepan para sedulur, Jatmiko (Perwakilan dari Dinas Pariwisata Budaya, Banyumas), Titut Edi (Padepokan Cowongsewu), Harianto (Nahdlatul Muhammadiyyin, Yogyakarta), Agus Sukoco (Penggiat Juguran Syafaat) dan juga beberapa perwakilan dari Teater Sianak dan Teater Didik. Kusworo memandu sesi ini sebagai moderator.

Jatmiko menyampaikan bahwa sebenarnya kita inilah yang meninggalkan tradisi-tradisi yang ada di desa. Arus informasi melalui media massa yang masuk ke desa membuat desa semakin mudah menerima infiltrasi-infiltrasi dari luar desa, bahkan dari luar negeri. Ini yang membuat pergeseran nilai-nilai di desa semakin besar. Jatmiko menceritakan pengalamannya dalam mengembangkan desa wisata di Baturraden dengan rutin menggelar event Grebeg Suran Banyumasan yang mendatangkan banyak wisatawan datang ke Banyumas.

Harianto menyambung dengan refleksi 2 tahun Juguran Syafaat, dimana umur 2 tahun setiap manusia itu berarti sudah mengerti bahasa secara jelas, sehingga sudah diketahui identitasnya melalui bahasa yang digunakan.

“Ketika orang-orang dikampus, di LSM masih berdiskusi tentang Nusantara, teman-teman di Juguran Syafaat sudah menunjukkan secara empiris apa itu Nusantara melalui pagelaran kesenian tadi. Nusantara itu sebuah sistem tradisi, kebudayaan nilai yang outputnya tidak ada yag lain selain kebahagiaan. Apapun bentuknya, outputnya selalu kebahagiaan.”, ujar Harianto.

“Nusantara itu berasa dari kata Swa yang artinya mandiri, Tara yang berarti satria. Satria itu sikap, personifikasinya dalam bentuk manusia yang berani, tangguh, berjuang. Tapi yang utama adalah sikap, sikap untuk berani mengatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah. Menyuarakan apa yang seharusnya disuarakan.”, tambah Harianto.
Harianto menambahkan bahwa Nusantara inilah yang melahirkan Indonesia. Kita sekarang kebingungan merumuskan tradisi-tradisi kebudayaan Indonesia itu pada sebelah mana. Apakah tarian Papua bisa disebut dengan tradisi Indonesia? Apakah tarian Keraton bisa juga disebut tradisi Indonesia? Kita sebagai anak bangsa terlalu lama diasuh oleh sekolah kehidupan yang bukan sesungguhnya, dan hari ini kita diajarkan kembali siapa sesungguhnya orang tua kita, leluhur kita, siapa masa lalu kita.

Harianto menyambungkan dengan runtuhnya Nusantara yang seiring dengan runtuhnya peradaban Islam di Granada. Nusantara merupakan bagian terbesar dari peradaban masa lalu. Harianto menuturkan bahwa leluhur kita ini pernah mengalami kejayaan dan ditengah kejayaannya, kita membuat perjanjian yang memaksa kita rela untuk dijajah oleh bangsa Eropa. Penjelasan ini tercatat dalam Serat Sabdo Palon Naya Genggong.

“Pada babadnya Diponegoro, itu tercatat bahwa pasukannya jauh melebihi jumlah pasukan Belanda. Diponegoro pada saat itu bukan pada posisi kalah. Tapi Diponegoro mengerti persis waktu kapan boleh mengambil kejayaan kapan harus menyerah demi kepentingan anak cucu. Ini agar kita mengetahui persisi pesan apa yang disampaikan oleh leluhur kita 500 tahun yang lalu.”, sambung Harianto.

Sebagai penghela antar diskusi, Ki Ageng Juguran mempersembahkan satu nomor berjudul “Amarah”.

Desa Sebagai Kenangan Surga

Diskusi malam hari ini mulai hangat meskipun sudah hampir memasuki tengah malam. Agus Sukoco menyambung diskusi dengan mengapresiasi penampilan dari Teater Sianak dan Teater Didik sebelumnya. Agus Sukoco menganalogikan proses keadilan yang terjadi saat ini seperti transaksi dalam kerjasama usaha. Jika akad awal antara rakyat dengan pemerintah adalah kerjasama usaha, dimana rakyat pemilik sumber daya dan pemerintah sebagai pengelolanya, maka apabila mendapat keuntungan harus dinikmati bersama dan dibagikan secara adil.

“Saat ini yang terjadi adalah, perjanjian kerjasama ini menghasilkan keuntungan satu juta rupiah, dan kita cukup disuruh senang dengan dibelikan soda susu dan sate kambing. Dimana letak keadilan itu?”, ujar Agus.

Agus Sukoco menjelaskan tafsir tentang turunnya Nabi Adam ke muka bumi ini bukan dalam bentuk pengusiran tetapi adalah bentuk penugasan. Ini bisa kita refleksikan selalu dalam diri kita, bahwa kita adalah Nabi Adam itu, yang memang turun dari kampung halaman kita yang sudah sangat maju (surga) dan ditugaskan Tuhan untuk membangun peradaban di daerah tertinggal, yaitu bumi ini. Kesadaran ini membuat kita tahu asal usul kita dan tahu kemana kita menuju, serta tahu juga apa yang musti kita lakukan di bumi ini.

“Desa adalah gambaran tentang surga. Maka orang barat menyebutnya “Paradise”, kita menyebutnya “Paradesa”. Forum malam hari ini sesungguhnya sedang mengingatkan bahwa kita memiliki kenangan sejati yaitu Allah dengan suasana surga.”, sambung Agus.

Titut Edi menyambung dengan menjelaskan bahwa festival-festival seni yang digelar adalah bentuk keindahan yang di sukai juga oleh Allah, namun saat ini orang lebih banyak menganggap hal itu sebagai bentuk kesyirikan atau mengikuti aliran tertentu. Titut menjelaskan juga tafsir tentang lagu mantra kesenian Cowongan yang berisi tentang warisan leluhur berupa nasehat kasih sayang sesama manusia.

Togar merespon bahwa jika desa berasal dari kata Paradesa, yang artinya tinggi, kondisi sekarang justru berkebalikan. Dalam birokrasi, posisi desa berada dalam struktur pemerintahan yang paling bawah. Togar bercerita juga bahwa kearifan orang desa khususnya petani dalam menanggulangi hama pertanian adalah dengan bentuk pengayoman, yaitu tidak memberantas melainkan mengajak dialog dan meminta boleh mengambil hasil pertanian asal disisakan untuk petani juga. Menurut Togar, ini adalah bentuk hidup yang selaras dengan alam dengan cara berbagi dengan komunitas alam. Petani harus bisa berbagi dengan siapa-siapa saja yang hidup dalam wilayah pertanian tidak hanya untuk keuntungan petani sendiri.

Jatmiko dari Perwakilan dari Dinas Pariwisata Budaya Banyumas menuturkan bahwa bentuk perbedaan budaya di beberapa daerah adalah sebuah keniscayaan. Ini semestinya kita jaga agar kebudayaan-kebudayaan dari luar tidak masuk menginfiltrasi kebudayaan kita. Jatmiko juga menambahkan bahwa desa bisa digunakan sebagai sumber ilmu pengetahuan, karena ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan semua ada di desa.

Rizky menjelaskan bahwa festival disini bukan urusan karnaval ramai yang harus meminta sponsor, tapi adalah bentuk kemandirian komunitas dalam menyelenggarakan satu event perayaan. Di desa sudah ada festival dalam bentuk kerigan, sambatan dan nyadran.

“Pengertian desa disini bukan sedang dalam meminta agar desa itu dibangun, juga bukan untuk kembali kepada romantisme masa lalu desa. Karena susah sekali menghadirkan otentisitas desa yang begitu ditinggikan dimasa lalu untuk ada di masa sekarang. Tapi bahwasanya esensi desa bisa kita ketemukan walaupun walaupun dia tidak punya wilayah, yaitu dalam bentuk komunitas. Unsur paling penting dari desa adalah hubungan paseduluran, atau bahasa kerennya hubungan human inter personal. Dan hubungan itu ada pada masing-masing komunitas.”, tambah Rizky.

Harianto menyambung dengan penjelasan bahwa sebenarnya desa yang berbatas geografis itu sebenarnya sudah tidak ada. Sedangkan paradesa adalah sebuah konsepsi nilai yang disitulah bentuk padatan materinya itu desa. Konsepsi nilai itu melingkupi kedamaian, kesejahteraan, cinta kasih, gotong royong dan lain sebagainya. Harianto merefleksikan paradesa dalam bahasa Al Quran yaitu firdaus dalam surat al Mukminun yang artinya berisi tentang orang-orang yang memelihara amanat dan janji yang dipikulnya, orang-orang yang bersembahyang, dan orang-orang itulah yang akan mewarisi surga firdaus.

Nael dari Purbalingga merespon dengan pengalamannya mengurus beberapa bantuan dari pemerintah untuk turun ke desa yang mana masyarakat masih terjebak bahwa pembangunan itu hanya dalam kacamata infrastruktur secara fisik. Hadiwijaya merespon dengan mengapresiasi para penggiat atas berjalannya forum ini selama 2 tahun terakhir dimana beliau termasuk orang yang paling tua secara umur yang hadir dan mengawal perjalan Juguran Syafaat dari pertama hingga saat ini.

Agus Sukoco menambahkan dengan penjelasan bahwa leluhur kita di masa lalu menyimpan rahasia-rahasia peradaban ke dalam mantra-mantra, lagu anak-anak dan juga nama-nama. Leluhur kita mengetahui bahwa nanti akan ada perubahan zaman dimana anak cucunya mengalami penjajahan. Dan leluhur kita mampu mewarisi ilmu-ilmu kesejatian yang disimpan ke lagu anak, mantra, sastra dan juga nama-nama yang orang tidak akan menyangka disitulah rahasianya.

Hadiwijaya mengakhiri forum ini dengan melantunkan tembang mocopat Dandhanggula. Tepat pukul 02.00 forum ini ditutup dengan nomor musik “Kelayung-layung” dari Ki Ageng Juguran. [] RedJS

Mukadimah: FESTIVAL PARADESA

Acara agama yang disiarkan oleh televisi berupa tampilan clip yang dibawakan oleh seorang narator adalah sebuah kebaikan. Kita semua bersepakat atas hal itu. Namun, ketika agama hanya dikultivasi narasinya saja seperti itu sehingga generasi mendatang hanya mengenal agama sebagai dongeng, cerita rakyat atau legenda belaka apakah hal itu masih bisa kita sebut kebaikan?

Ternyata tidak semua kebaikan memproduk kebaikan. Dalam realitas hidup yang lain, ada banyak langkah-langkah kebaikan para relawan sosial kemanusiaan justru ditunggangi untuk kepentingan perolehan uang bagi segelintir orang. Oleh karenanya, para pelaku kebaikan agar tidak kecewa harus terlebih dahulu paham, dirinya ada di lingkungan yang Qur’ani atau tidak. Karena di lingkungan yang tidak Qur’ani maka mustahil akan berlakunya sistem dimana kebaikan memproduk kebaikan, sistem dimana berlaku “fama ya’mal misqoladlarotin khairayaroh, mawa ya’mal misqoladlarotin syarayarah”.

Wiwitan, sambatan, takiran & kerigan adalah warisan leluhur ketika mereka masih hidup di era Qur’ani dimana kebaikan masih memproduk kebaikan. Sehari-hari mereka makarya, kemudian produk dari makarya itu adalah mereka memiliki keleluasaan untuk bantu-membantu, sayuk-sayuk rukun, gotong-royong membantu sesama mereka. Maka terwujudlah berbagai bentuk kolaborasi sosial yang menguntungkan mereka sendiri. Produk dari kolaborasi sosial tersebut kemudian memproduk kebaikan kembali berupa pembelajaran bersama. Begitu seterusnya.

Karena kebaikan membuahkan kebaikan, maka mereka menjadi masyarakat yang terus bertumbuh. Sehingga kita bersyukur memiliki akar sejarah yang membanggakan. Yakni ketika Nusantara gemah ripah tapi tak punya pasukan pertahanan karena tak memerlukan penjagaan keamanan. Yakni ketika Nusantara loh jinawi sehingga anak Ratu Sima sang penguasa saat itu tak melik disodori intan dan berlian.

Warisan kegemilangan sejarah Nusantara kemudian terpelihara oleh desa. Desa berasal dari kata Paradesa, yang kemudian oleh pendatang Inggris dipakai menjadi Paradise yang mereka artikan surga. Desa-desa yang asli masih mewadahi ketentraman surga, karena disana masih terdapat kerekatan paseduluran yang merupakan salah satu prasyarat terciptanya sistem kebaikan memproduk kebaikan.

Prinsip dasar desa adalah terbentuknya kesepakatan ber-community. Terbentuk kesepakatan bersama berupa aturan hukum, forum kebersamaan berupa festival dan pola memimpin-dipimpin yang kesemuanya timbul secara alamiah dan merdeka. Oleh karena itu, sebuah wilayah administratif jika tidak ada lagi spirit of community dan tidak terbentuk kesepakatan-kesepakatan yang alamiah dan merdeka, ia mungkin sudah meninggalkan substansi desa. Ia hanya menjadi sebuah “kota merk desa”. Namun, ketika sebuah komunitas hobiis misalnya, ia masih menjaga kerekatan paseduluran, maka bisa jadi ia adalah desa tanpa wilayah administratif.

Wiwitan, sambatan, takiran & kerigan adalah diantara bentuk produk festival yang dimiliki dan disengkuyung bersama oleh masyarakat sebuah desa. Termasuk juga berbagai jenis kenduren yang dilaksanakan masyarakat desa untuk setiap hajat mereka. Hari ini desa-desa mengalami krisis festival. Karena di satu sisi festival sudah dikomoditasi sehingga berbiaya mahal. Sementara di sisi lain festival ditiadakan dengan alasan syirik, bid’ah dan khurafat. Padahal dari festival itulah masyarakat sebuah desa atau komunitas mengalami pembelajaran semacam studium general yang empiris bersama-sama. Masyarakat paradesa memahami bahwa paseduluran adalah sumber daya terpenting diantara sumber daya lainnya, sehingga mereka membutuhkan festival untuk sarana meremajakan paseduluran.

Dua tahun Juguran Syafaat yang jatuh pada bulan April 2015 ini, jamaah Maiyah Banyumas Raya bermaksud menggelar festival yang berangkat dari otentisitas desa. Festival dengan tajuk “Festival Paradesa” mencoba menghadirkan bukan sekedar penampilan yang meriah dan gelamor, tetapi bagaimana kita bersama-sama mencoba merunut core dan catu daya dari festival yang berlangsung didesa. Kita bisa mengambil refleksi betapa kayanya potensi resources di desa sesungguhnya, karena festival tak harus deprogram annual juga tidak membutuhkan seksi pencari sponsor.[] RedJS