MAMPIR MEDANG (44) : LELUHUR SUDAH DI DEPAN

Sama-sama sedang berjalan dari Purbalingga menuju Purwokerto, satu orang berada di depan sudah hampir sampai Purwokerto, sementara Anda masih di Purbalingga, masih ada di belakang.

Begitulah perumpamaan posisi kita dan leluhur. Leluhur sudah berada di masa depan, masa di mana kita juga akan menempuh jalan yang sudah ia tempuh hari ini.

Perlunya menjaga akhlak dengan leluhur adalah, agar kita terbimbing. Bagaimana pun mereka sudah berada di depan kita. Misalnya ada informasi bahwa “Nanti di pasar Sumbang beli ayam goreng!”, begitu kata leluhur. Leluhur bisa menginformasikan seperti itu karena dia sudah melewati pasar Sumbang. Sedangkan kita masih di sini.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

Revisi Hari Jadi, Reposisi Leluhur

Sabtu malam minggu (23/7), Yayasan Arsakusuma secara khusus mengundang Keluarga Juguran Syafaat, para sejarahwan dan beberapa tokoh birokrat Purbalingga dalam acara yang bertajuk “Sabda Leluhur, Menemu Kenali Kembali Sejarah Purbalingga”. Acara yang digelar untuk pertama kalinya ini mengambil tempat di Pendopo Candiwulan di Desa Candiwulan, Kec. Kutasari, Purbalingga.

Yayasan Arsakusuma merupakan wadah bagi keluarga besar trah Adipati pertama Purbalingga. Sejak masa tersebut, Purbalingga mengawali cikal bakalnya sebagai Kadipaten mandiri, memekarkan diri dari Kadipaten Banyumas sekitar 2 abad yang lalu. Hingga kemudian pasca berdirinya NKRI, turun-temurunnya tampuk Adipati harus mengikuti keniscayaan modernitas, memasuki era demokrasi hingga sekarang Bupati dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi menganut konsep kebudayaan keraton yang turun-temurun.

Sarasehan malam hari itu menjadi estafet program “mengengahkan sesepuh” yang telah dikerjakan tahap-tahapan sebelumnya oleh Keluarga Juguran Syafaat. Estafet acara terdekat sebelumnya adalah Forum “Menelusuri Ibu Kandung Sejarah Purbalingga” yang digelar pada Februari lalu bersama para sesepuh Purbalingga.

Pada forum kala itu didiskusikan mengenai urgensi membangun kesadaran akan perlunya membangun kontrol sipil terhadap praktek birokrasi dan perekonomian dengan berbasis ketakdziman terhadap sesepuh. Serta didiskusikan pula adanya fenomena delegitimasi format organisasi kultural oleh dominasi format-format organisasi modern.

Menjadi kesinambungan pada forum kali ini adalah mengkaji dan mengoreksi hari jadi Purbalingga. Sejarahwan Tri Atmo menyampaikan bahwa tanggal yang diperingati sebagai hari jadi saat ini yakni 18 Desember 1830 itu sudah bener tapi belum pener.

Penentuan hari jadi yang diperingati saat ini adalah berdasarkan momentum serah-terima keraton kepada pemerintah Hindia-Belanda. Tepat pada momentum berakhirnya perang Diponegoro. Jika landasan berfikir tersebut yang digunakan, itu berarti sesepuh kita pinggirkan. Sementara ada tanggal yang sebetulnya justru relevan, yakni 23 juli 1759. Tanggal tersebut merupakan awal kepindahan pendopo Purbalingga saat ini, dari tempat semula di Kademangan Karanglewas. Peristiwa tersebut bersamaan dengan momentum pemberian legitimasi Kesultanan Pajang terhadap pemekaran Kadipaten Purbalingga dari Kadipaten Banyumas.

Proses pemekaran tersebut berkait erat dengan rekomendasi sesepuh kadipaten kala itu, yakni Adipati Yudhanegara II dan Eyang Arsantaka. Beliau-beliau menjadi semacam Diwan Sesepuh yang menjadi stering comitee dan menginkubasi awal lahirnya tatanan Purbalingga masakini.

Harmoni antara sesepuh dan penguasa yang terpelihara apik tersebut, dicatat apik oleh sejarahwan Tri Atmo. Beliau bahkan telah berjuang berkali-kali sejak era bupati-bupati sebelumnya untuk menepatkan peringatan hari jadi Purbalingga agar tidak meninggalkan spirit dari para sesepuh tersebut. Namun upaya selalu terganjal, “saya sudah putus asa memperjuangkan.”

Hasil dari acara tersebut menjadi usulan ke DPRD. Kemudian akan dibentuk tim khusus untuk menindaklanjuti proses teknisnya di lapangan. Upaya perbaikan tanggal hari jadi Purbalingga ini bukanlah program sepenggal, karena hal ini merupakan upaya untuk mereposisi peran dan keberadaan leluhur dimana mereka memiliki andil yang besar dan nyata dalam terwujudnya tatanan Purbalingga masakini.

Berselang dua hari dari acara, kabar yang menghentakkan hati tersiar Sejarahwan Tri Atmo yang menjadi pancer narasumber di acara tersebut, beliau tutup usia, berpulang ke Rahmatullah. Beliau purna tugas dunia di usia 74 tahun. Semoga khusnul khotimah, nafsul muthmainah. Dan generasi muda yang hadir dalam forum terakhir yg dihadiri Almarhum Bapak Tri Atmo tersebut mampu melanjutkan estafet perjuangan beliau.[] RedJS

Akhlak kepada Bos, Akhlak kepada Leluhur

Ada yang berpendapat bahwa berdoa melalui perantara ulama atau leluhur yang sudah berada di alam Barzakh itu tidak perlu. Diantara alasannya adalah karena Allah lebih dekat dari urat leher. Jadi, meminta langsung saja kepada Allah.

Betul, Allah lebih dekat dari urat leher. Karena itu pula, sebetulnya orang tidak perlu bekerja. Langsung minta ke Allah saja. Namun pasti pendapat seperti ini akan ditolak: Oh ya tidak, bekerja itu harus, karena rezeki itu harus ada ikhtiarnya.

Bekerja harus ada ikhtiarnya. Lantas berdoa memang tidak harus diikhtiari? Doa dan ikhtiar kita sekulerkan sedemikian rupa sih, sehingga cara berpikir kita yang salah memproduk cara pandang terhadap berziarah kepada ulama dan bersilaturahim kepada leluhur menjadi kelira-liru pula.

Betapa banyak orang mendapat rezeki bahkan tanpa wasilah ikhtiar. Ya, karena rezeki itu dari Allah. Dan Allah itu sangat dekat. Lalu, kenapa kita harus bekerja? Sebetulnya, bekerja itu hanya urusan akhlak saja. Akhlak alias kepatutan. Kepatutan dihadapan Allah, juga kepatutan dihadapan manusia.

Maka ketika kita memilih menjauhi ulama dan antipati kepada makam leluhur, pikirkan pula bagaimana kira-kira keadaan akhlak kita. Akhlak dihadapan Allah, akhlak dihadapan orang. Betapa senang Allah melihat akhlak anak-cucu seorang leluhur yang rajin berziarah dan berdoa. Apalagi jika sang leluhur itu adalah seorang pejuang agama yang tergolong kelompok syuhada, yang tetap hidup dan mendapat rezeki di sisi Allah sekalipun sudah wafat. Betapa indahnya orang-orang akan melihat seseorang yang rajin berziarah, berbakti kepada leluhurnya.

Maka yang harus digaris bawahi adalah, kalau mau jadi seorang agamis, hilangkan pikiran sekuler. Jangan pisahkan doa dan ikhitiar. Jagalah akhlak kepada leluhur, sebagaimana kita menjaga akhlak kepada bos ditempat kerja kita.

Kecuali kita tak mengimani kematian, menganggap mereka yang tak ada bersama kita berarti benar-benar tiada. Padahal, kita saja yang tak tahu kehidupan mereka, seperti bayi di perut ibu yang tak tahu kehidupan dunia dengan mal, gadget juga sosmed.[] Rizky Dwi Rahmawan

Reportase : LELUHUR MASA DEPAN

Malam itu cukup ramai, dimana-mana terdapat perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Hampir disetiap wilayah di Banyumas, baik di desa maupun di sudut kota terdapat perayaan warga-warga. Juguran Syafaat sejenak minggir dari keramaian mainstream. Menyepi dengan berdiskusi. “Leluhur Masa Depan” dipilih menjadi tema Majlis Masyarakat Maiyah Juguran Syafaat kali ini.

Acara dimulai pukul 21.00 wib. Dulur-dulur JS mulai menggenapi forum menjadi lingkaran, tampak beberapa sedang sibuk membaca buletin JS, lainnya saling berdiskusi pelan-pelan. JS diawali dengan tadarus Ar Rahman dan Al Waqiah oleh Kukuh dan Anggi.

Kusworo memoderatori Juguran Syafaat malam ini, memulai dengan menyapa dulur-dulur JS yang sudah hadir. Untuk sebuah lingkaran yang tidak begitu besar, moderator bisa menyapa satu-persatu dulur JS yang sudah hadir. Beberapa dulur-dulur memperkenalkan diri nama dan asal mereka.

Kemudian sebelum memasuki tema, Kukuh memulai diskusi malam ini dengan bercerita tentang pasar madinah dan pasar yahudi. Sharing selanjutnya dibawakan oleh Hilmy, yaitu sharing tentang informasi yang didapatkannya dari grup simpul maiyah nusantara, cerita tentang Mbah Nun ke Korea Utara.

Rizky menjelaskan tentang prolog tema “Leluhur Masa Depan”. “Mbah Nun selalu datang di Juguran Syafaat. Kita tidak terputus persambungan dengan mbah nun secara keilmuan. Kita tidak bisa berdiri sendiri. Secara ruhani dan substansi, beliau selalu hadir”

“Pikiran kita sering sejangkal. Ketika kita mengatakan masa depan, berarti kalau sekarang 2014 masa depan kita itu tahun 2015, 2020, 2025. Kita kejar, kita siapkan habis-habisan untuk masa depan yang kita bayangkan. Kemudian, mesti ndak kita sampai kesana? Kemudian ada alternatif, kata masa depan adalah dimensi setelah hidup ini. Ini adalah masa depan yang lebih pasti.”, ujar Kusworo.

“Kenapa cita-cita jadi bupati, jadi insinyur, jadi dokter, lebih dipersiapkan daripada masadepan kita menuju mati, itu karena di dunia ini disediakan fakultas ilmu ekonomi pembangunan, fakultas teknik sipil, fakultas kedokteran, yang itu menjadi cara untuk mencapai masadepan itu. Tapi tidak ada fakultas kematian.”, menurut Rizky.

Kusworo mempersilahkan salah satu tamu yang datang, yaitu Anas Rosyadi dan Mira Safar, suami istri pendiri Sekolah Alam Baturraden, Banyumas, untuk sharing tentang bagaimana sistem pendidikan yang berlangsung di sekolahnya, dan dimana ilmu-ilmu kematian diselipkan dalam kurikulumnya.

“Berangkat ke tema, saya memulai dari ziarah walisongo. Menurut saya, ziarah itu bukan bidah atau tidaknya, melainkan apa tujuan orang berziarah. Ada batas yang tipis sekali, antara syirik dan tauhid. Ada satu sisi, orang datang itu untuk meminta sesuatu, kita tidak bisa pungkiri itu. “, tukas Anas.

“Konsep pendidikan yang ada saat ini, orang tua, guru dan orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan itu hanya memperdulikan masalah dunia saja. Yang ada di sekolah adalah bagaimana anak-anak mendapatkan nilai matematika 9, bahasa inggris 9, IPA 9, sehingga besok bisa kuliah di universitas favorit.”, tambah Mira.

“Saya pernah membaca buku-buku sastra jaman dulu itu ada teknologi-teknologi yang luar biasa yang diciptakan oleh ilmuwan-ilmuwan di masa lalu.Pertama Karena mereka belajar dari sang maestro, yaitu alam semesta. Yang kedua orang-orang jaman dulu tidak punya kepentingan apapun dalam melakukan sesuatu. Jadi kalau arsitek jaman dulu bikin pendopo ya sudah, passionnya adalah bikin pendopo, dan kepuasan saya adalah ketika pendopo ini berdiri tegak dan bermanfaat untuk orang lain. Tetapi kalau jaman sekarang, orang melakukan sesuatu untuk uang.”, kata Mira.

Mira bercerita tentang sekolah alam baturraden, tentang konsep sekolahnya hingga perjalanannya hingga sekarang. Sharing pula tentang kondisi saat ini dimana anak-anak dekat sekali dengan gadget.

“Sekolah kami mempunyai dua mimpi besar, yang pertama adalah ingin mengembalikan fungsi manusia sebagai abdullah dan khalifatullah. Dan yang kedua adalah mewujudkan indonesia yang hijau dan damai. Walaupun kami tidak berseragam, walaupun kami tidak setiap hari senin mengadakan upacara bendera, tetapi yang kami tanamkan adalah bagaimana anak-anak menjadi muslim yang baik, bagaimana mereka menjadi pemimpin indonesia yang lebih baik. Itu saja, tidak ada kepentingan apapun. dan kenapa harus di alam, agar anak-anak punya kesempatan belajar lebih banyak bersama alam.”, tambah Mira.

“Anda harus tahu bahwa kehidupan yang sejati adalah setelah mati. Maka sekarang ini semua adalah fakultas kematian. Yaitu ilmu-ilmu yang berorientasi hanya pada radius waktu dunia. Padahal kehidupan yang sejati adalah setelah mati. Dan ini yang tidak ada fakultasnya, yaitu fakultas kehidupan.”, respon Agus Sukoco.

“Bangsa kita telah salah jalan dalam mengambil kebijakan-kebijakan untuk kesejahteraaan. Kita ini ibarat anak yang diwarisi tanah 10 hektar, tapi kita malah malas, tanah digadaikan dan bekerja kepada yang lebih miskin. Potensi alam darat dan laut adalah ibu kandung kita, sedang sekarang kita menyusu pada ibu tiri peradaban, yaitu industrialisasi.”, tambah Agus Sukoco.

Kemudian diputarkan single lagu karya dulur-dulur Juguran Syafaat, yang berjudul “Fatamorgana”, yang merespon nilai-nilai maiyah dalam Banawa Sekar Mei kemarin.

“Bahaya manusia yang sesungguhnya adalah tergelincirnya kita dari tauhid. Bagi saya dalam ziarah, batas antara tauhid dan syirik masih agak tebal. Sangat mudah untuk dibedakan. Semakin cerdas masa iya, minta ke kuburan, gampang sekali dibedakan. Yang batasnya sangat tipis dan susah dibedakan adalah ketika ada orang mengatakan ‘saya kaya karena saya kerja keras’. Ini bencana tauhid yang paling dahsyat, yang sedang kita alami bersama dan sedang berlangsung. Kita kira rejeki bukan dari Tuhan, itu hanya produk kontribusi kerja keras kita. Dan tidak pernah ada curiga sedikitpun bahwa ini adalah ancaman bagi supremasi tauhid.”, tambah Agus Sukoco.

“Pekerjaan maiyah adalah untuk membedakan mana syirik mana tidak ketika kita menyikapi datangnya rejeki saja. Jadi kita, setiap hari sudah datang bertumpuk-tumpuk kesyirikan kita sambil menuduh orang lain bidah, sambil menuduh orang lain syirik, hanya karena ziarah, padahal kita diam-diam hanya karena mendapatkan rejeki saja sudah syirik bertumpuk-tumpuk.”, tukas Agus Sukoco.

Respon menarik kemudian ditambahkan oleh Pur, jamaah dari Yogyakarta, menceritakan aktivitasnya dalam berbisnis dengan cara memanusiakan manusia.

“Kita selama ini mengalami banyak sekali penyanderaan-penyanderaan makna kata. Contohnya hidayah. Bahwa dikira kita tiap detik dapat hidayah itu selama ini direduksi bahwa hidayah itu hanya sekedar orang mau sholat, mau ngaji, tidak maksiat. Padahal, anak kita ketika pertama kali tahu bahwa dua tambah dua sama dengan empat, itu hidayah. Itu ilmu Tuhan yang disampaikan melalui guru dan diterima oleh anak. Selama ini dikira itu adalah kemampuan sekolah, kemampuan guru, sehingga sekolah-sekolah merasa berhak menjualnya.”, tambah Agus.

Diskusi memasuki tengah malam. Kemudian salah satu jamaah, Fikry berbagi tentang pengalamannya mengaplikasikan ilmu ‘krenteg’/ kekuatan pikiran dalam hidup sehari-hari.

Kusworo menyambung diskusi dengan mengembalikan diskusi ke tema awal. Kusworo menceritakan tentang ilmu-ilmu leluhur yang sesungguhnya sangat rasional dan ilmiah. Contohnya tentang bagaimana sesungguhnya leluhur bisa seperti berada dibanyak tempat, ini adalah tentang pancaran frekuensi rendah seperti halnya dalam elektronika telekomunikasi.

Azmy menambahkan perspektif jamaah tentang ziarah. “Ziarah adalah peristiwa tapak tilas atas keluhuran orang dahulu. Dan orang sekarang tidak membangun tempat-tempat dimana kita bisa mendapatkan stimulan dari keluhuran orang terdahulu. Inilah subtansi daripada ziarah.”, kata Azmy.

“Tidak ada nabi yang bisa mengatasi masalah kalau tidak ditolong Tuhan, dalam teks agama peristiwa suprarasional itu disebut dengan mukjizat. Peristiwa mukjizat Musa, Ibrahim, Nabi Muhammad, dan nabi-nabi yang lain, apakah tidak terjadi dalam hidup kita? Ada pengalaman teman yang sedang susah, untuk rokok sehari saja tidak pasti bisa beli. Dimarahin istri dan mertua karena tidak berpenghasilan. Tapi dia percaya ada mekanisme Tuhan, suatu saat ketemu tidak sengaja dengan orang yang dia menitipkan modalnya 40 juta untuk membuat percetakan hingga sekarang. Kalau dipikir secara rasional, bisa jadi perlu ratusan tahun untuk teman saya itu bisa mengumpulkan modal sebanyak itu. Apakah ini tidak disebut mukjizat?”, tambah Agus Sukoco.

Nael dari Purbalingga berprofesi sebagai pendidik menceritakan tentang kegelisahannya dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia, yang berganti-ganti kurikulum tidak jelas. Nael berpendapat sistem terbaik pendidikan saat ini ada pada pondok pesantren. Dia menceritakan bagaimana selama satu tahun bolos sekolah formal, tapi hanya membantu membangun masjid pondok pesantren, sekarang malah menjadi guru dan diangkat menjadi PNS. Ada hal-hal yang sulit dijelaskan secara teori terkait pendidikan di pesantren seperti karomah, keberkahan, dsb.

Juguran Syafaat diakhiri pukul 01.30 pagi dengan doa bersama dan lantunan ‘Hasbunallah’.[] HilmyNugraha/RedJS

———————————-

Juguran Syafaat Agustus 2014 – Leluhur Masa Depan Youtube
Part 1https://www.youtube.com/watch?v=uoWneXlCMuY
Part 2https://www.youtube.com/watch?v=NdD7EgZyCtU
Part 3 https://www.youtube.com/watch?v=OmbA6NI1WwI
Part 4https://www.youtube.com/watch?v=z-vNsY8SGxY
Part 5 Endhttps://www.youtube.com/watch?v=av3ObSDnkDw

 

BELAJAR PADA LELUHUR

Rasa syukur kita haturkan kehadirat Allah SWT, karena pada bulan Agustus yang penuh gegap gempita ini, perjalanan bangsa kita telah sampai pada tahun ke-69 setelah peristiwa Proklamasi kemerdekaan. Di bulan ini kita cukup terhibur, karena di tengah peliknya persoalan bangsa, mulai dari sengketa Pilpres, pembatasan BBM bersubsidi dan lain sebagainya kita masih bisa bersuka cita dengan balap karung, makan kerupuk dan penekan pucang sebagai perhelatan wajib Agustusan.

Di kesempatan cuka cita peringatan kemerdekaan ini, ada baiknya kita menggali lebih dalam tentang makna kemerdekaan dan makna kita hidup berbangsa. Bahwa bangsa kita yang merupakan ibu pertiwi kita saat ini, bukanlah bangsa yang baru mempunyai peradaban sejak proklamasi 69 tahun yang lalu. Akan tetapi bangsa kita adalah bangsa besar yang mempunyai peradaban besar sejak berabad-abad lampau sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan. Sriwijaya, Majapahit, Mataram dengan segala kebesaran peninggalannya adalah saksi bisu yang tidak terbantahkan tentang begitu tua dan luhurnya bangsa kita ini.

Keluhuran bangsa kita tidak bisa kita pahami, kalau kita masih merasa bangsa kita begitu muda, baru 69 tahun saja usianya. Sama seperti tidak pahamnya kita, kualitas manusia masa lalu itu seperti apa, sehingga bisa mewariskan lomba balap karung, lomba panjat pinang dan aneka lomba legendaris untuk memeriahkan perhelatan Agustusan dan kita tidak pernah bosan memainkannya. Lebih jauh lagi kita juga tidak punya jawaban atas pertanyaan di benak kita, sebetulnya leluhur macam apa yang mewarisi kita kesenian kuda lumping dan wayang, yang sekarang sekalipun ditinggalkan oleh anak-anak negeri sendiri tetapi warisan leluhur itu kini disubya-subya oleh warga mancanegara.

Kita mengenal ucapan Jawa “Kebo nyusu gudel”. Produk kebudayaan luhur seperti kuda lumping dan wayang, juga ide untuk membuat lomba panjat pinang pastilah produk leluhur yang mempunyai watak kedewasaan orang tua. Kebudayaan itu pasti dihasilkan oleh leluhur di masa lalu yang memiliki kualitas “kebo” yang dewasa, bukan kualitas “gudel” kekanak-kanakkan. Budaya leluhur yang begitu agung, berkualitas tinggi dan tidak mudah ditiru oleh bangsa manapun didunia itu ibaratnya adalah tanaman unggul yang dihasilkan dari sawah peninggalan leluhur, yang sawah itu begitu subur karena dibajak oleh kebo-kebo yang mumpuni.

Kita harus mengakui keunggulan leluhur kita atas produk kebudayaan yang demikian tinggi itu dengan kesadaran penuh bahwa generasi kita sekarang tidak bisa membuat produk kebudayaan sehebat yang mereka buat itu. Jangankan kita membuat produk kebudayaan yang seunggul wayang kulit atau kuda lumping, bahkan kita membuat perlombaan Agustusan yang sama legendarisnya dengan panjat pinang saja kita belum tentu bisa.

Misalnya saja lomba Agustusan kita ganti, tidak dengan panjat pinang dan balap karung, tapi diganti dengan kompetisi game online. Sudah terbayangkan betapa tidak meriahnya perlombaan game online itu bukan? Jadi sebetulnya siapa yang hebat dan canggih, apakah leluhur yang bisa menghasilkan produk kebudayaan yang berkualitas tinggi seperti contoh-contoh di atas, atau kita yang bisanya hanya meneruskan, tidak bisa membuat produk yang sama hebatnya dengan mereka. Bahkan sekedar meneruskan saja kita belum tentu bagus. Buktinya dari tahun ke tahun, kenikmatan kultural atas perhelatan kebudayaan semakin menurun. Dari tahun ke tahun, generasi kita semakin disibukkan dengan kegiatan mencari uang dan menambah perabot isi rumah kita sendiri.

Dengan kenyataan ini, yang pertama harus kita lakukan adalah kita harus berrendah diri mengakui bahwa kita belumlah memiliki kualitas kebo sebagaimana para leluhur. Generasi kita saat ini barulah memiliki kualitas gudel. Gudel yang merupakan kebo yang masih anak-anak, gudel yang masih harus banyak belajar, gudel yang masih harus mengakui kebelumdewasaannya, masih belum akil baligh¸ sehingga belum bisa menghasilkan produk apapun, termasuk produk-produk kebudayaan yang mempunyai nilai kemanfaatan sosial dan kenikmatan kultural.

Ini kondisi yang terbalik saat ini, kita yang sebetulnya gudel justru merasa lebih dewasa dari para leluhur kita yang sebetulnya mereka adalah kebo. Karenanya yang kita saksikan, anak muda merasa gemagah, merasa dirinya lebih modern, lebih canggih, lebih hebat, dibanding orang tua, dibanding leluhurnya.

Padahal betulkah generasi masa kini lebih hebat dibanding dengan generasi leluhurnya. Secara sederhana saja sudah bisa dipatahkan kesombongan itu. Silahkan diadu, mana yang lebih meriah, lomba panjat pinang atau lomba game online? Mana yang lebih perkasa kalau diadakan lomba marathon, generasi masa kini yang jarang olah raga dan kebanyakan mie instan, atau generasi tua yang rajin mencangkul di sawah? Generasi mana yang lebih mudah meriang, generasi mana yang lebih bingungan?

Setelah menyadari bahwa kita barulah gudel yang tidak seharusnya menyombongkan diri dihadapan para leluhur. Maka berikunya yang kita lakukan adalah, kita harus mau berrendah hati belajar pada leluhur. Belajar bagaimana leluhur mempunyai produk kebudayaan yang mampu bertahan lama, lintas dasawarsa bahkan lintas abad. Belajar dari bagaimana leluhur menjaga sistem kehidupan dengan tidak bergantung kepada pihak luar. Mereka membangun lumbung padi sendiri, menumbuk kopi sendiri, menyuling minyak klenthik sendiri. Betapa mandiri kehidupan leluhur yang semacam itu yang kini sudah jarang kita jumpai, sementara kini kita bergantung pada supermarket dan minimarket untuk memenuhi kebutuhan kita. Karena kebergantungan itulah kita jadi terlalu sibuk mencari uang, bukannya sibuk menikmati hidup dengan cara kita sendiri.

Ada begitu banyak hal yang harus kita pelajari dan ilmui dari para leluhur, kalau kita tidak mau jadi semakin gamoh dan kopong. Tapi pertanyaannya bagaimana kita belajar kepada mereka? Sedangkan di sekolah-sekolah tidak diajarkan tentang ilmu-ilmu para leluhur. Kalau mau mencari buku-bukupun sangat terbatas jumlahnya. Jangankan buku-buku peninggalan leluhur, bahkan makam para leluhurpun entah dimana berada kita menanggapnya tidak penting.

Maka yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah meyakini dengan sepenuh hati bahwa sangat tidak etis dan tidak tepat kita merasa gemagah merasa lebih hebat dari leluhur. Sembari itu, kita mengagumi para leluhur dan mendoakan mereka yang telah mendahului kita itu. Dengan memberikan penghormatan pada mereka, mengakui keunggulan mereka dan mengirim doa untuk mereka, mudah-mudahan Allah berkenan mencurahkan hidayah-Nya kepada kita. Sehingga, segala kebodohan hidup dan kesempitan berpikir kita lekas ditolong oleh Allah.

Mereka yang telah mendahului kita, terutama yang telah mengorbankan jiwa raganya untuk kemaslahatan generasi sesudahnya, janganlah dianggap mereka sudah mati dan tidak berguna. Ilmu mereka masih kita butuhkan, kasih sayang kepada mereka tidak boleh kita putus dan hentikan.

Sebagai penutup, berikut firman Allah SWT untuk kita resapi bersama : “Dan jangan sekali-kali Engkau menyangka orang-orang Yang terbunuh (yang gugur Syahid) pada jalan Allah itu mati, (Mereka tidak mati) bahkan mereka adalah hidup (secara istimewa) di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki – QS Ali Imron : 169

[] RizkyDwiR/RedJS