‘Ilmun La Yanfa’

Meskipun Maiyah adalah mataair yang dicurahkan dari langit ke suatu titik di tanah Indonesia, tetapi ia diperuntukkan hanya bagi hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Mungkin itu yang disebut gelombang amrdan irodah Maha Ruh sumber mataair itu, pada garis syafaat kekasih-Nya Muhammad saw.

Mataair itu dipancarkan untuk Al-Muhtadin, hamba-hamba yang dihidayahi oleh Allah. Mereka kemudian berhimpun menjadi Al-Mutahabbina Fillah, hamba-hamba yang saling mencintai semata-mata karena Allah. Bersaudara tidak karena hubungan darah, kesamaan golongan, madzhab, atau karena motivasi kekuasaan dan transaksi keduniaan.

Mereka bersaudara dan merawat persaudaraan fid-dunya wal-akhirahkholidina fiha abada, dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring. Dalam kemudahan atau kesulitan, kemiskinan atau kekayaan, kesedihan atau kegembiraan, dalam kepungan kegelapan atau limpahan cahaya. Mereka mengalir dalam getaran bersama. Mereka bergetar di aliran yang sama.

Para pereguk Mataair Maiyah diantarkan dan dihimpun memasuki suatu jagat kejiwaan di mana mereka mengalami kenikmatan bertauhid, ketakjuban ber-Islam, kesegaran silaturahmi, kemurnian ukhuwah, keseimbangan mental, kejernihan olah akal, keadilan berpikir, ketenteraman hati, kebijaksanaan bersikap — serta secara keseluruhan semacam keterbimbingan hidup.

Tetapi Allah menguji mereka: Seperti ada tangan besar yang menarik mereka ke jalan sunyi, yang membuat mereka terasing, berbeda bahkan bertentangan dengan dunia dan Indonesia.

Air yang mereka tadahi dari Mataair Maiyah mungkin sekadar dijadikan minuman untuk kesegaran di tenggorokan hidup bersama keluarga. Untuk peluasan dan pendalaman ilmu kehidupan. Untuk racikan baru kesehatan dan pengobatan. Untuk meningkatkan kualitas Ziro’ah, eksplorasi kreativitas Shina’ah dan respons terhadap perubahan tata penghidupan Tijaroh. Atau bisa juga untuk penghimpunan energi zaman melawan kedhaliman nasional dan global. Bahkan lebih menyeluruh, bulat, kaffah sekaligus detail dan ‘serbuk’.

Tetapi skala mereka sebatas “wala tansa nashibaka minad-dunya”. Tumpuan mereka adalah “innalloha ‘ala kulli syai`in qodir”. Koridor ilmu mereka adalah kesadaran bahwa pelaku utama perubahan adalah Allah sendiri. Serta takkan mereka lukai atau retakkan nikmat Allah berupa perkenan Al-Muhtadin dan ikhtiar Al-Mutahabbina Fillah.

Pun jangan lupa: Mataair Maiyah bisa tidak berguna apapun. Orang datang ke Mataair Maiyah sekadar untuk memetik keuntungan bagi dirinya sendiri. Maiyah bisa tidak pernah menjadi apa-apa. Menguap ke kekosongan zaman. Sirna dari lembaran buku sejarah dan kehidupan. Menjadi hamparan kerakal-kerikil diinjak-injak oleh gajah Abrahah. Bisa karena kemalasan mental, kesemberonoan ilmu, kejumudan spiritual, atau ketidakberdayaan memanggul berkah. Maiyah menjadi ‘ilmun la yanfa’. Ilmu yang tidak bermanfaat.

Mbah Nun
Mataair Maiyah 1-4,
Kadipiro, November 2017

Sumber: https://www.caknun.com/2017/ilmun-la-yanfa/

Yang Menang Harus Bangsa Indonesia

Beberapa bulan terakhir ini bangsa Indonesia seperti sedang suntuk bermain togel: 411, 1911, 212, 412, 1012 dan mungkin akan berlanjut ke situasi yang bukan dramatisasi harmoni angka-angka, malah mungkin benturan antara angka dengan angka.

Mungkin bangsa Indonesia sedang mencari dirinya sendiri. Sedang melacak kembali siapa sebenarnya mereka, dari berbagai view nilai, konteks, titik berat, gravitasi eksistensi dan pemetaan sejarah, cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, bahkan resolusi pandang. Masing-masing kelompok merasa apa yang dilakukannya adalah kebenaran. Masing-masing golongan meyakini bahwa merekalah gravitasi nasionalisme Indonesia, wajah merekalah yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika. Dan sesama massa yang meneriakkan “NKRI harga mati” akan bertabrakan. Yang memekikkan “Allahu Akbar”mengepalkan tinju ke massa di seberang yang juga memekikkan “Allahu Akbar”.

Pada mulanya, setiap pergerakan, setiap peristiwa, unjuk eksistensi, perjuangan dan jihad, berderap dengan tema “benar atau salah” dan atau “baik atau buruk”. Setibanya di jalanan dan lapangan, titik berat tematik bergeser menjadi “kalah atau menang”. Lapangan dan jalanan juga ikut menjelma jadi Padang Kurusetra. Hanya saja Bharata Yudha belum akan berlangsung, karena Arjuna sedang berdebat dengan Prabu Krisna, sais kereta perangnya. Sementara Adipati Karna sudah mantap dan sejak jauh sebelumnya sudah menguasai medan perang, secara teritorial, stok mesiu, gelar dan strategi perang, maupun kelimpahan dapur umumnya.

Sedangkan Panglima Drestajumena masih sibuk menoleh ke kanan ke kiri, ke depan dan ke belakang, merasakan ke mana angin bertiup. Adapun para Punakawan, Semar Gareng Petruk Bagong duduk bersila bercengkerama di gelaran tikar awan di angkasa, bersama Wisanggeni (Wasi’un Ghoniyyun) yang dilarang ikut perang. Terkadang Ontoseno juga muncul dari bawah tanah ikut nimbrung. Terkadang mereka menangis bersama, gero-gero menangisi “Ibu Pertiwi sudah tidak berkenan mengayomi lagi”. Di saat lain mereka tertawa terpingkal-pingkal: “Pemerintah kok merasa Negara. Pedang kok dipakai mencangkul. Keris kok dilecehkan….”. Negara tanpa kaji (presisi), Bangsa kehilangan aji (harga diri), Satria sirna nyali (keberanian revolusi).

Mudah-mudahan tidak terlalu jauh simbolisme dalam tulisan ini. Saya yakin semua memiliki daya assosiasi, proyeksi dan identifikasi dari perumpamaan-perumpamaan ini ke peta fakta kenegaraan dan kebangsaan yang sedang sangat nyata mengepung kita.

411, 1911, 212, 412, 1012 dan berikut-berikutnya adalah saling-silang atau silang sengkarut bias dan dispresisi. Di arena yang sangat gaduh itu terdengar suara-suara berseliweran tantang menantang, kutuk mengutuk yang disamarkan, serta kebencian dan permusuhan yang dieufemisasikan. Kata-kata kebenaran dan kepahlawanan diteriakkan oleh semua dan masing-masing. Semua berkata sama, tetapi produknya bukan “benere bebarengan” (benarnya bareng-bareng, benarnya semua orang, kebenaran kolektif koordinatif), melainkan “benere dhewe” (benarnya sendiri-sendiri), sehingga semua pihak terdesak mundur ke belakang, menjauh dari “bener sing sejati” (benar yang sejati): misalnya “yang menang harus Bangsa Indonesia”.

Ada yang sangat meyakini “benar atau salah” dan “baik atau buruk” tanpa sadar bahwa langkahnya adalah “kalah atau menang”. Yang sadar bahwa gerakannya adalah “kalah atau menang”, tidak lengkap juga pemahamannya pada momentum-momentum dan konteks mikro atau makronya: tidak punya presisai apakah ia sedang menang atau kalah, sedang mulia ataukah hina, seharusnya malu ataukah bangga, semestinya rendah hati ataukah jumawa. Masing-masing nggembol potensi dan kadar “mbegugug ngutowaton” ( pokoknya saya yang pasti benar) serta “adigang adigung adiguna” (menerjang, menaklukkan, menguasai).

Secara sederhana bangsa Indonesia, sebagai warganegara, sebagai rakyat maupun sebagai manusia, sedang diaduk-aduk oleh lipatan-lipatan masalah, krusialitas dan khaos nilai, tikungan dan telikungan pemaknaan atas segala sesuatu yang berlangsung. Tidak mengerti beda antara hemat dengan pelit. Antara konsisten dengan tidak move-on. Antara istiqamah dengan kepala batu. Antara kebenaran Quran dengan relativitas tafsirnya. Antara ramah tamah dengan taktik penipuan. Antara sopan santun dengan penjebakan. Antara blusukan dengan penaklukan. Antara Malaikat dengan Iblis. Karena Malaikat tidak punya keperluan untuk menyamar jadi Iblis. Sedangkan Iblis sangat tekun mempelajari teknik perilaku, strategi komunikasi, hingga performa dan pencitraan, yang tujuannya membuat manusia menyangka ia adalah Malaikat.

Bahkan para pemimpin ketika berkata dan berbuat, tidak recheck apakah yang diekspresikannya itu nasionalisme Indonesia, ataukah garis tugas korpsnya, kepentingan golongannya, kenyamanan jalan kariernya, ataukah nafsu pribadinya. Yang paling bencana adalah kalau ada pemimpin yang “tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti”, karena ia hanya digerakkan oleh Siluman yang sangat mengerti, dan mengerti bahwa mereka mengerti. Padahal harapan rakyat minimal ada pemimpin yang “tidak mengerti tapi mengerti bahwa ia tidak mengerti”. Atau mending “yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa ia mengerti”. Syukur yang “mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti”. [] RedJS

Sumber : https://www.caknun.com/2016/yang-menang-harus-bangsa-indonesia/

Edaran Untuk Jamaah Maiyah

Kepada semua Khalifah Jamaah Maiyah Nusantara (KJMN)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Dimulai bulannya Rasulullah SAW, terutama dalam jangka pendek menyongsong bulan Maret dan Mei 2012, serta untuk seterusnya, saya mohon kepada para KJMN untuk bersama-sama bahu membahu menyangga Nusantara.

KJMN meneguhkan di dalam batinnya, fikiran:

  1. 

Selalu eling untuk menjaga kepenuhan Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW di hati, fikiran dan jiwa.
  2. Selalu sadar dan peka untuk tidak berlaku menyakiti Allah SWT dan membuat sedih hati Rasulullah Muhammad SAW.
  3. Memohon kepada Allah SWT perlindungan dan keselamatan bagi semua yang hidupnya menomersatukan Allah dan mensyukuri kecukupan rahmat-Nya serta nikmat syafaat Rasul-Nya, yang berupa wujud sunnah qudroh keduniaan apapun asalkan di dalam rohani cinta kepada Beliau berdua.
  4. Memohon perkenan Allah SWT untuk meneguhkan mandat khilafah kepada kesungguhan perjuangan dan cita-cita rahmatan lil’alamin para KJMN.
  5. Memohon peneguhan kuasa dan keadilan yang maujud atas semua yang membelakangi Allah dan Rasul-Nya, yang merusak bumi dan memperhinakan martabat manusia.
  6. Memohon anugerah ma’rifatul-jihad, hidayatul-jihad dan hifdhul-jihad, sebatas hak kekhalifahan, agar menolong KJMN dalam menyusun langkah-langkah Jihad Ilahiyah yang sudah dan sedang dijalankan.
  7. Memohon  keluangan waktu atau kelonggaran kesempatan karena menurut batas ilmu yang diselami oleh KJMN dari hamparan ilmu Allah, diperlukan era-era yang tidak pendek untuk mewujudkan jihadul-ma’iyah.
  8. Memohon tambahan ilmu, quwwah dan “sulthan”, memohon tuntunan dan panduan, agar para KJMN diperjalankan oleh Allah SWT di jalur yang tepat sebatas daya dan skala yang Allah perkenankan.
  9. Memohon perlindungan bagi akar dan pohon Maiyah, bagi hutan-hutan dan taman-taman Maiyah, dari segala marabahaya dari bumi maupun angkasa.

KJMN meneguhkan di dalam lelaku:

  1. Banyak melakukan puasa seikhlasnya dan sekuatnya.
  2. Meningkatkan kesungguhan ibadah makhdloh serta memperdalam kekhusyukannya.
  3. Memperluas dan memperdalam manfaat di dalam setiap persentuhan dan keterlibatan individu, keluarga maupun masyarakat.
  4. Memperbanyak tadarrus Al-Quran serta shalawat pada setiap kesempatan yang memungkinkan.
  5. Secara khusus menyempatkan membaca semua atau yang mana saja di antara Surah Yasin, Surah Al-Khasyr, Surah Muhammad, Al-Ahzab, Al-Hajj dan Al-Waqi’ah.
  6. Bagi yang kemampuannya terbatas mohon banyak-banyak membaca ayat-ayat terpenting dari Allah SWT yang menyangkut kekuasaan, penjagaan dan keadilan-Nya, seperti Ayat Kursi, doa atau firman yang berkaitan dengan Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Yunus, Nabi Musa, serta doa-doa Rasulullah Muhammad SAW.
  7. Sebanyak mungkin membangun atmosfir rumah dan lingkungan dengan lantunan qiro’atul-Qur’an, shalawat-shalawat, serta suara-suara dari “Sohibu Baiti”.
  8. Tidak berpikir, berorientasi dan melangkah ke arah tujuan kekuasaan dan kehebatan keduniaan, karena dua hal tersebut adalah milik Allah, yang wajib diterima oleh para Khalifah jika Allah SWT meminjamkannya, namun tidak boleh disentuh oleh para KJMN pada posisi sebagai sesuatu yang diinginkan dan dikejarnya.
  9. Sehari-hari, membaca Al-Fatihah untuk Rasulullah Muhammad SAW, untuk Syekh al Kurdi al-akbar Bahauddin Syah Naqsyaband, serta untuk Syekh Nursamad Kamba, kemudian membaca 11 kali
    Edaran Untuk Khalifah Jamaah Maiyah Nusantara (KJMN)
    (Ya khafiyyal althaf adriknaa biluthfikal khafiy;
    Ya muhawwilal hawli wal ahwal hawwil haalana ila ahsanil ahwal).

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Muhammad Ainun Nadjib

Kadipiro, 4.02.2012

Sumber :https://www.caknun.com/2012/edaran-untuk-jamaah-maiyah/