Reportase: Animisme, Dinamisme dan Litererisme

JUGURAN SYAFAAT EDISI September 2014 membahas tema menarik yaitu “Animisme, Dinamisme dan Litererisme”. Acara dimulai pukul 21.00 malam. Jamaah tampak satu persatu merapat di Pendopo Wakil Bupati Banyumas. Suasana tampak syahdu ketika acara dimulai. Kukuh memimpin jamaah membaca Al-Quran Surat Nuh secara tartil terpimpin.

Seusai tadarusan, Rizky melanjutkan acara dengan mempersilakan Kukuh bercerita tentang pengalaman bertransaksi ala maiyah yang saling menguntungkan. Kukuh juga menyapa dulur-dulur Maiyah yang hadir. Tampak hadir dari Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Purbalingga, Majenang, hingga Tangerang. Ada tamu khusus yang hadir dari Nahdlatul Muhammadiyyin Jogja yaitu Harianto dan Adib, juga dari Bangbang Wetan, Surabaya yaitu Agung.

Titut Edi (Seniman Cowongan) dari Padepokan Cowongsewu, memantik diskusi dengan menyatakan bahwaorang yang ingat asal usulnya itu insya Allah akan selamat. Titut menghangatkan suasana dengan menyanyikan lagu ciptaannya berjudul “Balapan Tengu” dan “Kadal Nunggang Jaran”. Para jamaah terhibur dengan penampilan Titut Edi yang sudah lama tak hadir di Juguran Syafaat.

Rizky kembali memandu acara dengan bercerita tentang majelis Maiyah. “Seperti yang disampaikan Cak Nun, majelis Maiyah ini bukan majelis taklim, tapi majelis takrif. Kalau taklim itu alim, ilmunya meluas. Tapi jika takrif, itu arif, ilmunya mendalam. Orang alim ulama itu ceramahnya banyak karena ilmunya luas. Tapi kalau orang arif itu diramu dengan kebijaksanaan.”, kata Rizky.

-Isme, -Isasi, -Istik

Masuk ke tema, forum dihandle oleh Kusworo sebagai moderator,

“Rasa syukur saya benar-benar jangkep, karena dulur-dulur dari beberapa tempat bisa datang. Terus juga baru pernah selama juguran dihelat bisa datang sebanyak ini anak kecil. Sayangnya Tuhan, cintanya Tuhan, rejekinya Tuhan, sudah tidak perlu diminta, sudah pasti sebuah keniscayaan.”, ujar Kusworo.

“Kita itu sekarang sudah kehilangan pangkalnya informasi. Mulai terasa Allah membukakan hakikat berita itu ketika pilpres kemarin berlangsung. Siapakah sesungguhnya media massa, yang ternyata media massa yang berbeda menghasilkan hasil quick count yang berbeda. Dan itu masih berlangsung sampai sekarang meskipun dalam hal yang lebih halus. Media massa seharusnya menjadi panduan kita untuk mereferensikan informasi. Informasi kita butuhkan agar kita berkeputusan dengan benar. Tetapi berita sekarang susah dibedakan dengan infotainment. Misal kemarin ada judul berita : ‘Tim Transisi atau Intervensi?’ Lho, ini gosip apa judul berita? Kalau judul berita kan sudah jelas ‘Sepak Terjang Tim Transisi’.”, ujar Rizky.

“Ada akhiran isme, isasi, istik. Misalnya, orang berorientasi materi. Dia dikatakan menjadi kata sifat : materialistik, kata kerja : materialisasi, kemudian kata benda : materialisme. Nah, ketika perjalanan orang mencari kebenaran kepada ruh pada jaman dulu, ketika berhenti dia akan menjadi animisme. Padahal kalau menggunakan kaidah tadi, seharusnya animisasi, karena itu kata kerja terus, karena kalau berhenti dia akan menjadi penyembah arwah. Sama dinamisme. Ketika dia berhenti maka dia akan menyembah benda-benda. Pun orang sekarang, setelah mesin cetak ditemukan dan kita budayanya baca tulis, maka ada orang yang melakukan budaya literasi, tetap menjadi kata kerja, tapi ada yang berhenti sehingga dia menjadi litererisme. Kalau orang yang berhenti ciri-cirinya adalah menggunakan teks-teks literatur untuk pembenaran atas kepentingannya atau untuk mengahakimi orang lain.”, ujar rizky.

Mas Harianto dari NM memancing diskusi dengan bercerita tentang banyaknya forum-forum Maiyah yang berkembang di kota-kota di indonesia. Perkumpulan-perkumpulan seperti ini berangkat dari keprihatinan yang sama, bukan karena tujuan cari uang, cari ruang sepi ataupun cari kesaktian. Saat ini diperlukan penyeragaman tata cara bermajelis Maiyah agar semakin kuat dan kokoh dalam hal kebersamaannya.

“Animisme, dinamisme, litererisme, ini pasti kata ini disengaja oleh kekuatan entah siapa, untuk memfitnah leluhur leluhur kita, sehingga ketika kita melihat proses perjalanan yang seharusnya animisasi, dinamisasi, menjadi isme. Menjadi dihentikan. Sehingga lahirlah fitnah dan tuduhan bahwa mereka adalah penyembah ruh dan penyembah benda-benda, padahal masih dalam proses. Ini terkait hadirnya Maiyah, saya kira untuk membanguncara berfikir yang didalamnya ada bagaimana kita membangun sudut pandang, cara pandang, jarak pandang dan cakrawala pandang. Sehingga kita tidak tergesa-gesa memberikan vonis dan fitnah sambil mempersalahkan kanan kiri depan belakang.”, tanggap Agus Sukoco.

Agus mencontohkan cara pandang dengan yang ada disehari-hari. Ada seorang wanita yang menarik wajahnya, terdapat tahi lalat di dagunya. Seandainya kita melihat tahi lalat dengan melotot, padahal ini adalah ornamen yang tidak dominan, yang justru menyempurnakan kesempurnaannya. Tetapi kalau fokus pandangan kita hanya melihat melotot tahi lalat sampai menjadi dominan, maka yang terlihat hanya hitam gelap saja. Dunia ini adalah tahi lalat hitam di wajah indah agung Allah SWT.

“Kalau kita punya jarak pandang, disiplin jarak, kita melihat dunia hanya titik hitam yang tidak dominan, dia hanya ornamen yang kita saksikan dari keindahan Tuhan ini. Tapi sayangnya manusia kepada dunia fokus melihat, melotot pada dunia, sampai dunia menjadi kesadarannya, maka dunia menjadi gelap, hidup kita menjadi terbentur-bentur, karena sebagaimana kita melihat yang sesungguhnya sangat cantik tadi, yang terlihat bagi kita hanya tahi lalat itu saja. Saya rasa kita perlu membangun cara pandang yang baru melihat leluhur kita, bahwa mereka bukan orang jahat yang salah bertuhan, hanya sedang dalam perjalanan menemukan Tuhan.”, tambah Agus Sukoco.

“Seandainya kita ditaruh di hutan, terisolir. Begitu kita lahir, dihutan, tidak ada yang mengajari kita, tidak ada informasi apapun, ketika perut kita melilit, kita akan mencari makan, kita belum tahu, belum ada referensi mana yang bisa dimakan, mana yang tidak boleh dimakan. Beda dengan kita, lahir sudah ngerti cabe bisa utuk nyambel, jeruk bisa dimakan. Kita sudah tahu, kita hadir dengan informasi informasi yang sangat banyak, sehingga kita tidak repot-repot, makan apa, boleh dimakan apa tidak. Tetapi jika kita dihutan, tidak ada yang memberitahu mana yang boleh dimakan mana yang tidak, sementara kita juga punya kebutuhan jasad tiba tiba kita lapar, maka kita akan mencari cari. Lihat lombok kita makan, kemudian pedes, kita buang. Nah, proses menemukan lombok itu kan berapa abad, pertama menemukan itu dibuang, hingga kelak hari ini kita tahu fungsi lombok bisa untuk nyambel. Begitu pula kebutuhan ruh, manusia punya zat Tuhan, sehingga dia akan asal usul, dan dalam rangka mencari asal usul itulah, dia meraba-raba sebagaimana kebutuhan jasad tadi. Dia menyembah pohon, bikin upacara-upacara, dalam rangka memenuhi kebutuhan atau kelaparan ruhaninya. Dan kemudian mati. Dan proses itu berapa abad? Sampai ada tuduhan sekarang, itu sebagaipenyembahpohon. Padahal dia mencari sesuatu yang dirindukan didalam dirinya. Kalau seandainya kita duduk disamping Tuhan, Tuhan berkata, itu orang sedang mencariKu, dikiranya Aku ada dalam pohon. kita menjawab, itu kan sedang menyembah pohon? Tuhan tetap tahu bahwa orang itu sedang mencari Tuhan. Melihat seperti ini, Apakah orang itu tetap dosa, padahal sedang mencari proses dalam dirinya? Nah yang seperti ini adalah tuduhan yang paling jahat. Maka Juguran Syafaat malam ini, berfungsi untuk mengurangi dosa sejarah, supaya kita tidak menjadi bagian dari yang terus menerus menuduh leluhur kita yang sangat serius mencari Tuhan, sambil diam-diam kita menuhankan teks.”, sambung Agus Sukoco.

Kusworo menjelaskan tentang periode sejarah yang ditulis selama ini, ada masa Animisme, Dinamisme, Hindu, Budha, Islam, itu ditulis oleh siapa. Ini salah satu bentuk kepentingan dalam menulis sejarah. Kita percaya bahawa ada periode dimana leluhur kita menyembah pohon dan roh, sedangkan kemudian sekarang kita mengelilingi ka’bah itu juga bukan berarti sedang menyembah ka’bah atau batu.

“Ketika nenek moyang sedang berada di depan pohon pun, sedang melakukan pencarian Tuhan, merupakan sebuah bentuk kemandirian dari leluhur dalam proses pencarian Tuhan. Karena waktu itu belumada agama dan nabi yang sekarang kita kenal. Bentuk penyembahan itu ada pada hati, tidak bisa terbaca dari bentuk wadag luarnya.”, kata Kusworo.

Rizky menambahkan ada contoh beragama yang membuat kita terpenjara/tersandera oleh agama itu tersendiri. Bisa jadi kita yang mencari Tuhan melalui literatur jauh tersandera, daripada leluhur kita yang mencari Tuhan melalui pohon dan roh, karena mereka lebih ksatria.

Interaksi para jamaah tampak hangat. Demas dari banyumas memberikan tambahan perspektif tentang litererisme. Demas menjelaskan tentang skripsinya yang membahas tentang ada sebuah kepentingan atas sebuah teks literatur hingga sejarah. Sebuah respon dari Yuda, Purwokerto, menjelaskan tentang berhala-berhala pada jaman nabi Nuh yang sebenarnya leluhur-leluhur mereka yang hidupnya sangat sholeh.

Titut Edi menjelaskan proses berdoanya yang melibatkan alam semesta. Titut dalam doanya biasa bermeditasi di air terjun, mandi di beberapa mata air bukan karena klenik atau mistik, tapi hanyalah melibatkan alam untuk ikut berdoa kepada Tuhan bersama-sama. Titut memberikan nama proses ini dengan istilah ‘Istighosah Alam’.

“Banyak ilmuwan sekarang terjebak pada penjara kata, kehilangan kata untuk memaknai segala peristiwa. Teman-teman juguran syafaat sudah mulai untuk bisa menciptakan kosakata sendiri, termasuk kata litererisme ini. Kita tidak sedang meng-counter orang–orang yang menuduh Animisme, Dinamisme dan Litererisme ini. Percuma saja, mereka pekerjaannya memang seperti itu. Tapi yang perlu kita perhatikan kan Islam ini. Islam yang di animisme-kan, dinamisme-kan, dan litererisme-kan. Islam itu kan kata kerja, sekarang sudah menjadi kata identitas. Islam itu ukurannya perilaku, bukan identitas. Sekarang Islam sudah menjadi kata benda, bukan kata kerja. Kalau ukurannya identitas, apa bedanya orang yang mengelilingi pohon, dengan orang yang mengelilingi ka’bah? Bukankah sama? Maka yang perlu kita lakukan saat ini adalah, kita perlu melakukan re-definisi banyak hal, berhala itu apa, takhayul itu apa? Takhayul itu jaman dulu percaya kepada mitos-mitos, lalu kalau sekarang anda percaya bahwa dengan menggunakan sabun tertentu kulit anda menjadi putih, apa itu bukan takhayul juga? Dan kita percaya. Yang kita perlu lakukan adalah melakukan definis-definisi ualang kata kata yang ada didalam Al Quran itu sendiri. ”, sambung Harianto, dari NM.

“Kenapa Allah menyebut khalifatulil ardhi, bukan khalifatulil alamin, tetapi kalau rahmatan kok lil alamin? Bukan rahmatan fil ardhi? Ternyata ada tahapannya, ketika manusia sudah menyatu dengan alam melalui ibadah, maka tahap selanjutnya mempersatukan. Maka ketika orang gagal mempersatukan semuanya, maka gagal menjadi khalifatullah. Kalau orang sudah bisa mempersatukan kawan musuh itu semua, maka menjadi satu ia dengan Tuhannya. Dia sudah tidak ada. Maka itulah rahmatan lil alamin. Maka rahmatain lil alamin itulah yang tertingggi, maka manusia derajatnya bukan lagi manusia, karena dia sudah menjadi satu. Nah kesadaran kita dalam rangka menuju ke tahapan tahapan seperti itu.”, tambah Harianto.

Adib dari NM, menanggapi diskusi yang sudah berjalan, dan menyimpulkan bahwa Juguran Syafaat memang fokus pada ayat-ayat kauniyah. Adib menyebut dulur-dulur Juguran Syafaat dengan nama “Shohibul Kauniyah”.

Tuhan Sebagai Faktor Produksi

“Saya kira sudah tidak mungkin dijaman yang modern ini ada orang yang berhenti menyembah ke roh, berhenti menyembah benda-benda. Tetapi perjalanan untuk menyatu kepada Tuhan kemudian tercegat lagi, meskipun sudah beragama, sudah sholat, sudah haji. Perjalanan menyatu ke Tuhan itu tercegat ketika memposisikan Tuhan hanya sebagai faktor produksi. Dimana Tuhan kita peralat untuk keuntungan kita. Itu terjadi didalam doa kita, didalam sholat kita, didalam puasa kita. Kepentingannya adalah untung rugi secara materi. Juga ada produk keuntungan yang dicari selain materi tadi adalah kemapanan posisi didalam feodalisme diwilayah agama. Sehingga ayat atau hadist, teks-teks itu dimatikan, padahal ayat dan hadist sangat luas dan dalam mempeluangi kita untuk berenang-renang menyelami banyak hikmah bersifat dinamis. “, kata Agus Sukoco.

“Kita memiliki banyak sekali jenis hubungan. Ada hubungan suami istri, akak adik, anak bapak, hubungan teman. Dan hubungan itu akan mempengaruhi sikap kita kepada lawan hubungan kita. akan Menjadi sebuah kecelakaan peradaban jika kita melihat kakak ipar tetapi seperti melihat istri. Akan berantakan semuanya, hanya karena kita gagal membangun hubungan secara tepat. Ini soal hubungan dengan kakak ipar saja sudah bahaya sekali, apalagi salah hubungan dengan Tuhan. Lha hubungan seperti apa yang kita bina dengan Tuhan? Apakah hubungan tetangga, sebagai istri, atau apa? Kita tahu hubungan transaksional dengan Tuhan. Menagih pahala setelah beribadah. Lalu, Ada hubungan apa yang tepat? Nah, kita mengenal ada bismillahirahmanirahim, kalau kita melakukan apa saja harus dikaitkan dengan ke maha rohman rohim-nya Tuhan. Saya kemudian memaknainya begini, kita sering berdoa ‘Ya Allah, cintailah saya.’, Tuhan menjawab, ‘Bisanya Aku menciptakan dirimu, karena Aku mencintaimu”. Jadi sesungguhnya seluruh perilaku hidup kita adalah bentuk jawaban atas cintanya Allah ke kita.”, Agus menambahkan.

Agus kemudian menceritakan seperti yang dituturkan Cak Nun tentang perang Badar antara Nabi Muhammad dengan pasukan Abu Jahal. Rasulullah tidak berdoa minta menang, tapi mempersilakan Allah berkeputusan apa, asalkan tidak marah ke kaumnya Nabi Muhammad. Jadi pertimbangannya bukan harga diri Rasulullah menang atau kalah, tapi menjaga hubungan baik dengan Tuhan.

“Dalam praktek hidup kita, saya kasih analogi, kalau saya jalan dengan pacar saya, saya kepenginnya sate, tapi pacar saya kepenginnya bakso. Meskipun saya kepenginnya sate, maka yang saya pertimbangkan bukan lagi sate atau bakso, tapi nuruti kekasihnya maunya apa. Jadi sekarang, gunung slamet mau meletus atau tidak, bukan urusan, kita tidak akan menjadikan Allah sebagai faktor produksi, ‘demi keselamatan kita supaya pabrik atau toko kita tutup, tolong gunung slamet jangan meletus’, tidak. Silakan terserah Tuhan, yang penting Tuhan tidak marah padaku. Yang penting hubungan kita tetap terjaga. Jadi allah tetap nomor satu prioritasnya, bukan kepentingan kita.”, sambung Agus Sukoco.

Rizky menambahkan perspektif dengan menyatakan bahwa konsekuensi kita sebagai orang yang bertuhan adalah, kalau ada sesuatu yang diluar kehendak kita, itu pasti kehendak Tuhan. Kalau kita pengin sate tapi kejadiannya bakso, maka itu Tuhan yang bikin.

Diskusi semakin hangat. Fikry berpendapat bahwa di dalam diskusi ada kerangka analogi, ada kerangka ilmu. Kalau ilmunya sudah dapat, mau analogi bentuk apapun pasti akan sampai. Analoginya seperti aliran air yang menuju ke laut, mau dari sungai sebelah manapun, asalkan tujuannya sama, menuju ke laut itu tidak masalah. Mau analogi seperti apapun, kalau tujuannya tetap mencari ilmu, tidak akan jadi perbedaan yang mendasar.

Kehangatan semakin terasa ketika tim akustik dari dulur-dulur Purbalingga mempersembahkan nomor lagu, “Kehidupan Yang Hilang” yang menceritakan fenomenas sosial yang terjadi sehari-hari. Kemudian dilanjutkan lagu “Untuk Simbah Guru”, lagu spesial persembahan untuk Cak Nun. Lagu ini akan menjadi mini album yang akan segera dirilis.

Kesadaran Inalillahi

“Tuhan itu kan tidak butuh apa apa. Artinya, sedunia orang tidak sholat semua, itu Tuhan tidak rugi tidak berkemuliaannya sebagai Tuhan. Tapi Tuhan nyuruh kita sholat, kita pikir itu untuk kepentingan Tuhan, jadi seolah-olah Tuhan butuh disembah. Analoginya seperti ini, saya menyuruh anda untuk menyapu, mengepel, membersihkan rumah, dibuka jendelanya. Apa yang saya sampaikan itu untuk kepentingannya anda. Kemudian anda menjalani itu, setelah anda menyapu, mengepel, membersihkan rumah anda, terus datang ke saya untuk meminta imbalan. Dan sholat itu untuk kepentingan kita, bukan kepentingan Tuhan, sholat itu peristiwanya adalah memang manusia butuh sholat bukan Tuhan butuh disembah. Dan sangat tidak rasional kalau kita menagih pahala itu. Jadi kalau kita diperintah sholat, itu bukan perintah bagi saya, itu pemberian.”, ujar Agus memulai diskusi berikutnya.

“Kita ini tidak bisa berdiri sendiri. Kita berada pada sebuah sistem yang memenjarakan kita menyandera kita, disisi mana seluruh niat baik bahkan kebaikan kita sedang dimuarakan secara sistemik kepada keuntungan dajjal. Maiyah adalah upaya untuk keluar dari hegemoni sistemik supaya kebaikan kita benar-benar berproduksi kebaikan berikutnya. Bagi saya, Indonesia adalah titik hitam yang kecil ditengah keindahan wajah besar Maiyah. Jadi keruwetan indonesia tidak mengganggu pandangan dan kesadaran kita. Jadi, negara indonesia berada di negeri Maiyah”, tambah Agus.

Agung dari Bangbang Wetan, diminta untuk sharing tentang Maiyah di Bangbang Wetan, surabaya.Untuk menambah hangat diskusi, jamaah bersholawat bersama diiringi tim akustik dulur-dulur Purbalingga yang dipimpin Rifangi.

“Juguran Syafaat malam hari ini saya menemukan jawaban kenapa kok begitu kangen, begitu kepengin ke juguran syafaat. Temen-temen Juguran Syafaat menemukan identitasnya. Awal kebaikan bisa berujung kepada kejahatan. Sebabnya, karena kita gagal mengawal kebaikan ini sampai kepada muara akhir kebaikan. Maka kebaikan yang kita tanam malam hari ini, harus kita kawal, sehingga pada akhirnya juga berbuah kebaikan. Maiyah adalah bersama sama, maiyah adalah kebersamaan. Semakin banyak nilai yang kita sebarkan, itulah makna dari mempersatukan, dan itulah khalifatullah fil ardhi.”, sambung Harianto.

“Kita hidup kan dari rute inalillahi wa inailaihi rajiun, dari Allah ke Allah. Maka tujuan kita ya Allah. Artinya, yang menjadi tujuan hidup manusia itu sesungguhnya ya kebahagiaan. Kebahagiaan yang sesuai dengan konsep inalillahi wa inailaihi rajiun, yaitu kebahagiaan adalah berjumpa Tuhan baik berjumpa secara sejati atau dalam peristiwa-peristiwa hidup kita. Kita harus mampu menemukan Tuhan dalam peristiwa-peristiwa hidup kita, itu yang disebut kebahagiaan. Kalau kemudian yang kita kejar kebahagiaan bukan dalam rute inalillahi wa inailaihi rajiun, misalnya bahagia adalah punya uang banyak, punya jabatan, ketika kita kejar, kita mendapat, ternyata tidak mendapat kebahagiaan, maka lahirlah kesimpulan sawang sinawang. Padahal, kebahagiaan harus kita temukan, bukan sawang sinawang. Salah mereka sendiri mengejar ngejar kebahagiaan yang disangka dari sumber lain selain yang berjumpa dengan Tuhan.”, ujar Agus.

Agus memungkasi pernyataannya dengan menjelaskan konsep kesadaran kamar pengantin seperti yang sudah diceritakan pada Juguran Syafaat bulan Agustus yang lalu.

Interaksi jamaah tampak hangat. Saling berdiskusi menarik, saling melengkapi. Demas membacakan puisi Mustofa W Hasyim, yang berjudul ”Aku berpuasa, engkau berpesta”. Dilanjutkan dengan Rifangi memimpin bersama-sama senandung“Duh Gusti” dan “Shohibu Baity”. Pada pukul 01:55 acara diakhiri dengan salam-salaman dulur Juguran Syafaat. [] HilmyNugraha/RedJS

Mukadimah: Animisme, Dinamisme dan Litererisme

Kehidupan sudah digelar satu miliar tahun, merupakan sebuah waktu yang tidak pendek. Begitu pula perjalanan orang mencari Tuhan, telah menempuh waktu yang tidak pendek pula. Pada zaman dahulu, leluhur yang telah mati diyakini keberadaan arwahnya. Interaksi dengan arwah leluhur itu, menjadi pintu pencarian akan Tuhan. Sebagian terburu-buru berhenti mencari, sehingga arwah leluhur ia sangka sebagai Sang Tuhan. Maka lahirlah animisme.

Selain dengan arwah, manusia di masa lampau juga berinteraksi dengan benda-benda. Batu-batu, tumbuh-tumbuhan, gunung, awan hingga rembulan. Interaksi dengan benda-benda dijadikan pintu pencarian untuk menemukan Tuhan. Sebagian terburu-buru berhenti sebelum menemukan, sehingga benda-benda di alam disangka Tuhan. Begitulah dinamisme dikenal.

Jebakan pola berpikir yang menggeneralisir, membuat pengetahuan kita tentang animisme dan dinamisme tidak menyisakan khusnudzon kepada orang-orang yang berinteraksi dengan makam leluhur dan dengan alam bahwa mereka tidak sedang mempertuhankan keduanya. Bagaimana mungkin para leluhur yang memiliki modalitas ilmu kesehatan, yang tekun berinteraksi dengan aneka rupa pohon dalam rangka menemukan kandungan khasiat pengobatan didalamnya kemudian kita zuudzon-i sedang menyembah dan mempertuhankan pohon? Bagaimana mungkin pula kita menuduh hal yang sama kepada manusia mulia bapak para nabi, karena ia menyangkai rembulan dan matahari sebagai Tuhan dalam proses pencariannya?

Kemudian mesin cetak ditemukan, budaya literasi teks berkembang pesat sesudahnya. Proses pencarian Tuhan kemudian tersaji dalam banyak tulisan dan buku. Mulai dari hal ihwal makrifat yang sangat halus hingga hal ihwal syariat yang wadag. Sebagaimana perjalanan orang menuju Tuhan melalui leluhur dan melalui benda-benda, teks tulisan dan buku juga menjadi kendaraan yang bisa digunakan untuk proses pencarian Tuhan.

Teks literatur tidak salah untuk kita jadikan kendaraan dalam perjalanan kita mencari Tuhan, asalkan kita tidak berhenti berjalan. Karena kalau kita berhenti berjalan, jadilah kita pemuja teks, sepertihalnya yang kita tuduhkan kepada nenek moyang dengan tuduhan penyembah leluhur atau animisme dan penyembah benda-benda atau dinamisme. Daripada kita sibuk menuduh nenek moyang, lebih baik kita mencoba-cobai menuduh-nuduh diri sendiri, jangan-jangan malah kita yang litererisme.

Tanda-tanda litererisme terlihat pada ketidakmampuan orang untuk empan papan dalam memperlakukan teks literatur. Berhenti pada huruf, tidak melanjutkan pada arti. Berhenti pada arti, tidak merelung ke dalam makna. Berhenti pada makna, tidak mengindahkan nuansa. Berhenti pada nuansa, tidak hirau pada aksentuasi. Dan seterusnya. Dalil dan sumber bacaan sebagai produk bisa kita analogikan sebagai nasi. Jangan merasa khatam dulu kalau baru mengenal nasi, kita harus belajar beras. Belajar beras saja tidak cukup, kita harus mengerti gabah. Jangan berhenti di gabah, kita harus mengerti padi. Mengerti padi saja belum selesai, kita harus memahami bibit.

Kalau kita memahami ini, kita tidak akan arogan merasa sudah mengenal Nabi Muhammad hanya karena sudah hafal dalil-dalil. Di kedalaman ucapan beliau ada perangai, didalam perangai ada sifat, didalam sifat ada cahaya. Literatur teks mampu menyajikan perkataan beliau, atau sedikit gambaran perangai beliau, tapi apakah mampu mengantarkan sifat dan cahaya Muhammad kepada kita? Bagaimana kita bisa membangun diri, kalau pembelajaran kita berhenti pada produk, tidak sampai ke bibit? Bagaimana ketinggian derajat bisa kita raih, kalau kita sebatas mengulik kulit, tidak sampai ke kedalaman isi.

Rasa-rasanya kita harus berpikir ulang, untuk tidak hanya melulu mengedepankan kecerdasan linguistik-literalistik agar anak cucu generasi mendatang tidak menuduh kita penganut aliran litererisme, sebagaimana kita menuduh nenek moyang di generasi dahulu sebagai penganut animisme dan dinamisme. Masih ada tujuh jenis kecerdasan lain yang saat ini dikesampingkan oleh peradaban, bahkan diantipatii, yakni kecerdasan interpersonal, intrapersonal, naturalis, spasial, logikal, musikal dan kinestetik.[] RizkyDwiR/RedJS