Mentakjubi 300 DAUR

Perang telah diumumkan, tidak ada pilihan lain, menyingkir atau melakukan perlawanan. Berbondong-bondong orang baik dengan rela atau terpaksa kemudian meninggalkan pekerjaan dan kesehariannya, mereka dengan suka cita maupun berat hati harus memulai hari baru, babak baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bukan hanya terbayangkan sebelumnya, bahkan tak terbayangkan kedepannya seperti apa.

Begitulah mungkin kira-kira gambaran suasana embrio Republik di dua tahun sebelum Proklamasi. Kala di mana sebagian orang meyakini upayanya akan berujung pada proklamasi, sementara sebagian lainnya tidak meyakininya. Bahkan sebagian lainnya yang mungkin lebih besar jangankan meyakini, memiliki kosakata proklamasi saja tidak, persis seperti generasi dua tahun sebelum reformasi, yang bahkan belum pernah mendengar sekali waktupun tentang kata yang kemudian dipatri di benak anak-anak bangsa hingga hari ini : reformasi.

Cita-cita proklamasi berdirinya Republik kala itu bukanlah peristiwa yang sederhana. Gugus Zamrud Khatulistiwa nasibnya tidak terlepas dari suasana geopolitik global yang amat tidak menentu. Ada blok Sekutu, ada Blok Jepang. Entah seperti apa bentuk peta hubungan antara kepentingan bangsa-bangsa yang terlibat di dalamnya, penanda betapa itu semua begitu pelik adalah pada 1943, Kekuasaan Jepang yang sedang bertengger di tanah air kita justru merekrut warga pribumi untuk berbondong-bondong dilatih militer, agar bisa ikut berperang.

Muda-tua, ningrat-jelata, gemulai-perkasa berbondong-bondong masuk dalam berbagai kesatuan-kesatuan yang kemudian dikenal sebagai Tentara PETA (Pembela Tanah Air). Motivasi mereka tentu saja berbeda dengan sebagian motivasi generasi saat ini menjadi prajurit demi mendapat kepastian masa depan. Entah apa motivasi yang mendasarinya, saya menebak-nebak, siapapun saja, terlebih anak muda, kalau tidak ikut bergabung dalam pendidikan militer yang dibuka oleh tentara Jepang itu, mereka akan dianggap tidak gentle, dan hal itu berpengaruh besar terhadap harga diri dan martabat mereka.

Waktu terus bergulir, atas berkat rahmat Allah dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, tercapailah cita-cita Proklamasi dalam sebuah momentum yang mustahil jika tidak ada keterlibatan Tuhan di dalamnya. Kemudian bergantilah generasi untuk melanjutkan estafet perjuangan bangsa pasca proklamasi, dengan tantangan-tantangan yang terus berbeda dari waktu ke waktu tetapi dengan spirit yang sama : menjaga harga diri dan martabat bangsa.  Hingga tibalah tantangan sampai ke generasi kita sekarang ini.

***

Kalau yang disebut perang adalah invasi pasukan bersenjatakan mesiu, maka hari ini, di tanah ini, tidak ada apa-apa. Tetapi kalau yang disebut perang adalah perebutan kepentingan pada tingkat dimana massa mereka libatkan dalam jumlah yang massif dan agresif, media dijadikan sebagai senjata dan tumbalnya, naluri nyaris dilenyapkan secara sempurna dari diri-diri yang berada di medannya, bukankah saat ini semua itu sedang terjadi?

Kepekaan setiap kita tentu saja berbeda, sebab dramatisnya situasi hari ini belum tergambar selengkap torehan sejarah perjalanan bangsa di masa lalu. Bagi generasi ‘pembaca’ sejarah, tidak ada alasan untuk bersegera memahami, sabar menanti sejarah dicetak dalam buku-buku. Tapi tidak bagi ‘pelaku’ sejarah, kalau pola pikirnya seperti itu, maka tidak ada kesempatan baginya untuk melakukan sesuatu di dalam kesempatan sejarah yang ia jalani. Mana pilihan kita, menjadi pembaca sejarah, atau pelaku sejarah?

Sejarah itu berulang, sejarah itu ber-Daur. Meski peristiwa kasatnya mungkin berbeda, tetapi polanya berada dalam daur yang persisten dan presisi. Hari ini, 300 Daur telah Beliau persembahkan untuk para pelaku sejarah. Dan dunia tak nampak berubah, setelah 300 hari tanpa pernah seharipun terlambat catatan berisi benang-benar merah, pola-pola dasar, esensi-esensi peristiwa dan nalar-nalar di balik peristiwa hadir dihadapan kita.

Akan tetapi tak ada alasan untuk tidak post of optimis. Sebab bisa jadi dunia tak perlu menyambutnya seluruhnya, cukup pilar-pilar dunia, pilar-pilar peradaban saja yang harus mengenkripsi kekayaan kandungan 300 Daur untuk kemudian menginstalnya. Dan jumlah mereka mungkin sangat sedikit, hanya 15 persen, atau 1,5 persen atau nol koma sekian persen saja.

Mereka sedikit tapi militan. Mereka mungkin segelintir orang-orang yang tidak dianggap, tetapi mereka yang melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka. Sedangkan saya, adalah bagian dari kelompok yang kebanyakan, yang tidak punya militansi apa-apa. Hanya bisa berucap “Saya membaca, dan saya takjub”.

***

Dalam kurun perjalanan sejarah, tentara PETA bersama Hisbulloh dan KNIL kemudian menjadi cikal bakal angkatan bersenjata yang dimiliki oleh Republik. Hingga yang dikenal oleh generasi saat ini sebagai TNI. Metamorfosis angkatan bersenjata milik negara ini menunjukkan bukti bahwa benar-benar penjaga NKRI adalah pasukan yang lahir dari rakyat. Dari petani, penggembala ternak, tukang timba air, yang kemudian mereka memilih menceburkan diri di dalam pendidikan militer kala itu.

Refleksi untuk hari ini adalah, sampai kapan kita masih menaruh harap pada para politisi, atau pemimpin-pemimpin yang lahir dari rahim politisi. Dipilihkan siapa-siapa calon pemimpin kita, sembari meyakini tiada daya dan upaya untuk mengidentifikasi sendiri siapa pemimpin sejati. Sementara kepentingan mereka yang melahirkan calon-calon pemimpin yang untuk kita pilih itu, jelas-jelas sama sekali berbeda dengan motivasi petani, penggembala ternak dan tukang timba air yang memilih jalan berjuang demi harga diri dan martabat diri dan tanah airnya. Padahal pemimpin yang lahir dari rahim rakyat kini, Beliau sudah hadir di tengah-tengah kita. [] Rizky Dwi Rahmawan

Previous ArticleNext Article