Mukadimah: MANAJEMEN PERHATIAN

“Aja kagetan, aja gumunan”, adalah kuda-kuda yang efektif agar perhatian kita tidak terombang-ambing oleh informasi apa saja yang dapat menyebabkan kita terjebak pada euforia.  Pada saat euforia, sulit bagi seseorang untuk mengelola perhatiannya. Di saat banyak orang terjebak euforia, di saat yang sama banyak orang terjebak dalam situasi ‘ketungkul’. Yakni keadaan di mana perhatian kita tidak bisa bergeming dari tempatnya. Hidup yang ketungkul seringkali membuat jadi statis, kalah oleh zaman yang terus menerus menuntut untuk berubah beradaptasi.

Sumber daya paling mahal yang kita punyai adalah waktu. Sekalipun begitu, mempunyai waktu bukan berarti serta merta semua menjadi beres. Sebab Pada saat kita keliru mengelola perhatian kita, waktu berbuah menjadi sia-sia belaka. Seseorang mungkin bisa merengkuh dua atau tiga pulau sekaligus dengan sekali mendayung. Akan tetapi seseorang tidak mungkin bisa membelah perhatiannya pada dua hal yang berbeda. Kecuali dua hal itu sudah ditemukan irisannya, sama-sama sebagai kebutuhan azali kita, Primordial need kita.

Hanyalah pada hal yang betul-betul kita menaruh perhatian padanya, di sanalah keberhasilan bisa kita harapkan. Enam tahun sudah menempuh proses menyeimbangkan diri dari euforia dan ketungkul. Berupaya merengkuh dua, tiga hingga puluhan kepentingan tanpa membentur-benturkannya. Melainkan dalam bangunan kesadaran: 100% untuk Tuhan, 100% untuk keluarga dan 100% untuk cita-cita.  Selanjutnya terus dan akan terus berproses.

Mukadimah: BOMBONG BERKUALITAS

Kata orang, salah satu tips agar makanmu menjadi terasa enak adalah dengan engkau kerjakan dulu berbagai pekerjaan, sampai terasa lelah, sampai terasa laparmu memuncak. Sesudah semua itu, makanan menjadi begitu nikmat terasa. Citarasa makanan yang lezat saat itu menjadi minor sebab bersamaan itu engkau menikmati mongkog hati sebab sudah menyelesaikan sejumlah pekerjaan.

Menyelesaikan sejumlah pekerjaan dengan berkualitas ternyata dapat menjadi cara untuk membangun sebuah citarasa. Kalau engkau tidak menyadari bahwa di setiap pencapaian sebuah kualitas di sana terdapat kebahagiaan yang akan engkau dapatkan, maka engkau hanya akan menjadi pengejar kualitas yang pemalas kecuali engkau sedang berada di ajang kompetisi. Ah, untuk apa harus menjadi yang terbaik kalau tidak ada pesaing yang harus dikalahkan.

Ketika engkau hanya berusaha berbuat yang terbaik di saat terdapat pesaing, maka wajar kalau engkau sering kalah bersaing. Engkau kalah terbiasa dibanding dengan mereka yang membangun kualitas bukan hanya ketika butuh untuk mengungguli yang lain. Yakni mereka yang senantiasa membangun kualitas sebab menyadari dibalik hasil kerja berkualitas, di situ ada sesuatu yang paling dicari dalam hidup setiap manusia: kebahagiaan.

Mukadimah: WA’TASHIMU BIHABLILLAH

Seandainya sukses adalah kewajiban, pastilah bukan karena dalam hidup ini kita diharuskan untuk mengungguli orang lain. Semakin besar populasi manusia, semakin kaya peradaban ini akan pasokan ilmu pengatahuan, betapa makin beratnya untuk kita dapat tampil lebih unggul dari orang lain, bukan?

Alasan yang mungkin lebih bisa diterima adalah ketika kamu mengejar sukses, dikarenakan kamu tidak mau membuat repot orang lain atas keadaan dirimu. Termasuk hingga alasan kamu tidak ingin membuat repot negara. Sebab keadaanmu yang sukses, sehingga negara bisa lebih mengerucutkan prioritas tugasnya yakni pada mereka yang memang betul-betul butuh untuk ditolong.

Negara sudah sangat berat tanggung jawabnya. Hendak ngerusuhi dan ngerepoti rasanya tidak tega, bukan? Cara sederhana yang bisa ditempuh adalah dengan kita memilah antara mana keperluan sehari-hari kita yang bisa kerjakan sendiri, dan mana hal-hal yang memang harus diurus dengan melibatkan negara. Kemudian, kalau tidak betul-betul mendesak, usahakan jangan merepoti negara.

Lebih baik kamu merepoti keluarga, tetangga, atau sahabat kiri kanan. Mereka mungkin lebih ridho untuk direpoti olehmu, sebab dalam rangkanya adalah wa’tasimu bihablilahi jami’an.

Mukadimah: RESOLUSI ILUSI

Siapa sebetulnya yang pertama kali mengajarkan pada generasi ini bahwa hidup haruslah mencapai sukses? Siapa pula yang memberi aturan main bahwa untuk mencapai sukses maka jalan yang harus kita tempuh adalah jalan bernama kompetisi?

Ketika orang berbondong-bondong ingin mencapai tujuan yang sama dengan cara yang sama maka situasi persaingan memang menjadi tidak terelakkan adanya. Itu mungkin mengapa mereka yang memilih menjadi berbeda kemudian mendapat predikat istimewa. Sebab memang sukses dan kompetisi itu sudah sedemikian bakunya, sudah seperti agama saja, betapa beratnya keluar dari dua pakem itu.

Perjuangan kini tidak lagi harus mengangkat senjata tetapi kamu berani memilih Be Different! saja, maka orang banyak sudah akan mempahlawankanmu sedemikian rupa.  Setidaknya puja-puji itu muncul karena memang di saat seseorang memilih jalan yang berbeda, ia sudah mengurangi slot sukses, mengurai kepadatan populasi kompetisi.

Stigma bahwa memilih jalan yang berbeda dari mainstream berarti menjauhi sukses bahkan sudah kita cecap itu sendiri. Mengikuti jalan hidup tetangga yang sudah meraih sukses, men-copy nya mentah-mentah itu lebih kita anggap ber-jaminan, ketimbang menyusun merumuskan resolusi kita sendiri.  

Sehingga semakin tahun, orang semakin enggan menyusun merumuskan resolusi. “Ah! Paling tidak terwujud!”. Lebih baik tahun yang baru disambut dengan hal-hal yang menyenangkan saja. Yang ringan-ringan saja. Kembang api lebih berfaedah. Kemudian, pada saat sedang enggan-enggannya menyusun resolusi awal tahun. Tiba-tiba datang challenge dari para orang-orang tua: “Cobalah kamu susun sebuah resolusi, yang ujung targetnya nanti bukan Sukses!”. Wah, bagaimana pula itu?

Mukadimah: HOLOPIS KUNTUL BARIS

Momentum itu sesuatu yang bisa kita dapatkan dengan kita menungguinya. Tetapi apabila menunggu sesuatu yang tak pasti adalah pekerjaan yang menjenuhkan, lebih baik momentum itu kita sendiri yang menciptakannya. Untuk menggotong sebuah benda yang berat, beberapa orang dapat mengangkatnya bersama-sama dengan diberi aba-aba agar energi terkumpul sehingga tercipta sebuah momentum. Diaba-abailah “Satu..!!dua..!! tiga..!!” dan sebuah lemari besar pun terangkat.

Aba-aba tak harus ditunggu dari siapa pun. Kita yang sedang menggotong dengan beramai-ramai dan beramai-ramai pula meneriakkan aba-aba itu pun bisa. Ini seperti lazim nya di jaman kakek buyut kita dahulu, mereka menggotong kayu gelondongan berukuran begitu besar, tanpa alat berat. Mereka terbantu oleh teriakan serempak mereka sendiri “Ho..!!lo..!!pis..!!kun..!!tul..!!ba..!!ris..!!”. Beban yang begitu berat pun bisa terangkat. Satu teriakan, satu tahapan gerakan atau langkah. Begitu pulalah, satu aba-aba yang disetia, melahirkan satu tahapan movement.

Kalau hari ini kita sudah beramai-ramai berkumpul, kalau hari ini kita sudah berpadu sinergi tetapi movement yang kita harapkan tak kunjung terjunjung, bahkan di antara kita ada yang begitu solidnya mengorganisir diri, tak cukup itu, mereka me-merger tak hanya waktu dan tenaga bersama-sama, tetapi juga pikiran bahkan hingga modal, ada yang membentuk dari mulai korporasi hingga koperasi,tak sedikit yang staminanya terkuras untuk bejibun program kepedulian sosial dan berbagi, tetapi gelondongan perubahan tampak masih gagal untuk bergeser. Apakah gerangan sebabnya?

Sebab nya jangan-jangan adalah, suara masing-masing kita hanya menjadi suara gaduh belaka, sehingga tidak berfungsi menjadi sebuah aba-aba. Sehingga momentum perubahan pun tak kunjung tercipta.[RedJS]

Mukadimah: DUNYA LA TARHAM

Kok, waktu berjalan terasa begitu cepat? Cobalah toleh orang di kiri kanan dan tanyakan, ternyata banyak dari mereka pun merasa yang sama. Sebuah kebetulan belaka, atau fenomena apakah perasaan kolektif seperti ini? Mungkin fenomena ini adalah salah satu bagian dari sikap dunia. Dunia sedang ingin menunjukkan dirinya bahwa ia tidak lagi berpihak pada kita, kepada umat manusia. Sehingga waktu mempersempit diri, tidak lagi terasa leluasa.

Padahal zaman semakin maju, semakin tak terhitung pencapaian-pencapaian modern yang sudah berhasil di buat umat manusia. Salah satu pencapaian kemajuan itu adalah kita dimanjakan dengan gaya hidup malas. Hingga kenapa sebagian orang ingin kaya? Agar bisa membeli gaya hidup malas. Dunia seolah ada di pihak kita, mau memfasilitasi manusia untuk menjadi malas. Akan tetapi, ternyata malas itu adalah sebuah jebakan. Sebab dunia kini memberlakukan hukumnya : hukum kompetisi.

Kesempatan-kesempatan hanya berpihak pada segelintir orang. Mereka harus berebut untuk lolos. Dan hanya yang beruntung, atau yang sungguh-sungguh, atau yang banyak pahala, atau yang rajin tirakat saja yang pada akhirnya lolos test kemampuan dasar di dalam kompetisi hidup. Sementara terhadap dunia yang semakin menunjukkan sikap tidak berpihaknya, kita tak kunjung sempat bernegosiasi atau sekedar omong-omong untuk ngemong. Malahan kita satu sama lain justru membuat kesibukan sendiri. Yakni sibuk menunjukkan ketidakberpihakan satu sama lain dengan sesama kita. Dari politik sampai ekonomi, ada saja jalan untuk membuat dalihnya.

Memang, menunjukkan ketidakberpihakan itu sebuah hal yang bisa memacu adrenalin. Sensasinya bahkan melebihi sekedar naik kapal setan, tornado dan roller coaster. Ini lebih menantang, lebih menyenangkan.[]