Agama Seperti Hendak Diusir

Tanda utama kekafiran seseorang adalah gampang mengkafirkan orang lain. Mengapa? karena ia tidak kenal Tuhan. Orang yang mengenal Tuhan pasti tahu bahwa satu-satunya pemegang hak untuk menilai manusia itu kafir atau tidak hanya Tuhan.

Manusia yang mengenal Tuhan mengerti persis betapa tidak berkuasanya kita dihadapan kekuasaan Tuhan. Manusia hanya ditugasi untuk menjaga hati agar tetap bisa berbaik sangka kepada apapun dan siapapun.

Saya tidak habis pikir, jika ada orang memiliki ketegaan hati sekaligus keberanian untuk menuduh orang lain kafir. Tuduhan kafir adalah penghinaan kepada martabat manusia. Orang akan merasa lebih sakit dikatakan kafir dibanding dengan segala jenis umpatan lain.

Kafir adalah sebuah kondisi destruksi ruhani kemanusiaan seseorang. Suatu keadaan yang menggambarkan puncak keburukan batin manusia. Lalu jenis ketegaan dan kesadisan serupa apa yang mendorong seseorang lepas kontrol emosinya hingga melaknat orang lain serendah itu? Saya kira, hanya penderita psikopat yang berkecenderungan semacam itu.

Bahwa soal beda agama, biarlah kita simpan rapi di dalam hati masing-masing. Hal yang lebih produktif dan bernilai dakwah adalah dengan membuktikan suguhan cinta yang lezat bagi segenap makhluk Tuhan yang kita jumpai.

Setiap perilaku destruksi sosial, pelanggaran hukum, dan penganiayaan terhadap nilai hidup, itu pasti bersumber dari tindakan orang yang sedang mengalami kekafiran. Dan itu bisa dari orang yang memiliki kartu anggota dan identitas institusi agama apapun.

Kepada orang yang kebetulan sedang jahatpun, kalau kepadanya kita menuduh kafir, saya kira terlalu sadis. Biarlah Tuhan saja yang menstempel gelar kafir itu, karena kekuasaan-Nya yang mutlak mewajarkan untuk Dia bersikap apapun kepada para makhluknya.

Tuhan pernah memvonis Firaun kafir, menilai Abu Jahal kafir dan mencap Raja Namrud kafir. Dan itu hak Tuhan. Mudah-mudahan tidak ada orang yang merasa sudah diberi hak untuk memberikan vonis-vonis tersebut oleh Tuhan. Bisa runyam perjalanan sejarah ini, jika ada aliran keagamaan dan mahdzab pemikiran yang mendeklarasikan diri sebagai satu-satunya representasi kebenaran Tuhan.

Agama adalah jalan bagi manusia untuk belajar menemukan dan menjalankan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Tiga nilai hidup yang tidak boleh diperagakan sepotong-potong. Kebenaran akan gagal diterapkan sebagai kebenaran jika tidak dilengkapi kebaikan dan keindahan.

Buang air besar adalah kebenaran, karena itu sunnah alam salah satunya adalah metabolisme tubuh manusia sendiri. Tetapi buang air besar sebagai sebuah kebenaran akan merendah mutu kebenarannya jika kita melakukannya di tengah jalan raya yang dilihat banyak orang.

Buang air besar saja butuh pertimbangan moral (kebaikan) dan memerlukan keindahan (estetik) dengan cara dan tempat yang khusus. Tanpa memperhitungkan unsur kebaikan dan keindahan, kebenaransunnah alam buang air besar bias-bisa menjadi faktor penyebabdegradasi harkat kemanusiaan seseorang.

Jika seseorang masih menjalankan ketiga prinsip nilai semacam itu dalam berbagai konteks keputusan hidupnya, lalu dimana relevansi kekafirannya. Mungkin tuduhan kafir yang dimaksud adalah orang yang beda agama. Oh jika demikian berarti kafir dan tidak kafir adalah hanya soal teologis.

Kalau demikian, orang lain pun punya hak juga untuk menuduh kita kafir berdasarkan pertimbangan teologis mereka. Inilah akibat pandangan sekulerisme, Tuhan dan kehidupan dipisah dalam bentangan jarak yang sangat lebar. Nilai Tuhan berupa kebenaran, kebaikan dan keindahanmenjadi demikian sempit.

Sebaik apapun seseorang, jika ia penganut agama lain, ia adalah kafir. Pandangan demikian justru membuat kita menjadi pihak yang mengingkari kebenaran, karena kebaikan orang tidak boleh diakui sebagai sebuah kebaikan.

Mengingkari kebaikan adalah pengingkaran kepada kebenaran. Sesuatu yang baik dipaksa untuk dianggap bukan kebaikan. Bagaimana mungkin akal sehat bisa bersikap semacam itu? Bagi saya, tugas agama adalah membimbing orang agar bisa menggunakan akal sehatnya, bukan sebaliknya.

Sejauh pengertian saya mengenai kafir adalah tertutupnya nurani manusia dalam melihat kebenaran. Apabila seseorang gagal bersikap jujur kepada obyektivitas nilai-nilai hidup, ingkar terhadap keadilan dan menolak keindahan; ia kafir. Karena di dalam nilai-nilai hidup tersebut Tuhan bersemayam.

Khusyuk berjuang meleburkan diri dalam nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan, adalah cara menempuh perjalanan menuju Tuhan. Orang yang dituduh kafir pasti akan sakit hati, karena ketika kita sendiri divonis demikian juga akan tersinggung. Adakah menyakiti orang lain bisa disebut sebagai perilaku yang benar, baik dan indah?

Ah, agama saya tidak mengajarkan orang untuk menyakiti hati siapapun. Bahkan terhadap  seekor  semut pun Islam memberi panduan akhlak kepada manusia dalam memperlakukannya. Saya selalu membayangkan,membuat simulasi dan sibuk berimajinasi tentang perasaan orang lain ketika ia dituduh sebagai kafir.

Cara mengisi hidup ini tentu bukan dengan menyibukan diri untukmemmbuat stigma-sitgma bagi orang lain, tetapi saling menggunakan metode keagamaanya untuk mengolah diri agar menjadi pribadi yang bisa memproduksi rasa aman bersama.

Apa manfaat giat menyeru orang lain sebagai kafir,  kecuali sekedar hanya merintis dendam diam-diam? Cepat atau lambat bisa berpotensimeledak menjadi peristiwa ‘saling bunuh’ jika menemukan momentum.

Untunglah kata kafir sekarang menjadi meredup daya tikamnya karena orang telah makin cerdas dan menjadi dewasa. Tuduhan kafir menjadi ringan disikapi oleh psikologi orang yang cerdas. Setiap kali kata kafir dialamatkan kepada kita, kecerdasan spiritual kita langsung merespon dengan tingkat kearifan prima. Kepada si penuduh, sambil tertawa kita bergumam dalam hati, “Emang kamu Tuhan sehingga memiliki otoritas untuk memberikan stempel kafir kepadaku?”.

Atau dengan santai kita juga bisa menjawab dalam diam, “Tuduhanmu tidak akan mempengaruhi penilaian Tuhan kepadaku!”. Dan masih berderet-deret reaksi kecerdasan yang seketika muncul secara nakal tapi nalar di pikiran pada saat kata kafir ditembakan kepada kita.

Ada sedikit kecemasan ketika tren mengkafirkan orang begitu marak berlangsung. Tetapi ternyata, orang makin terdidik untuk menyikapinya dengan rileks dan menganggapnya hanya sebagai kegenitan anak kecil yang baru belajar agama.

Tuhan pasti akan menjaga Islam dari stigmatisasi radikal dan citra intoleran. Cara Tuhan menjaga Islam adalah dengan mencerdaskan segera umat manusia. Hanya dengan kecerdasan, orang akan tepat dalam mendayagunakan agama sebagai metode untuk membangun diri dan peradaban.

Islam yang begitu anggun dan merupakan rahmat semesta terus menerus sedang digembosi citranya dengan cara mendangkalkan pikiran para penganutnya. Sehingga yang terjadi adalah konflik bertema agama yang tak berkesudahan.

Lama-lama agama akan dituduh sebagai sumber konflik terbesar dalam sejarah. Target jangka panjangnya adalah akan lahir suatu saat sebuah generasi yang alergi terhadap agama, karena menurut informasi yang sampai kepada generasi tersebut adalah keganasan perangai para penganut agama pada generasi-generasi sebelum mereka.

Agama seperti hendak diusir dari kehidupan umat manusia oleh para penganjur materialisme. Strateginya adalah dengan menciptakan opini negatif terhadap agama. Dan itu sudah dimulai sejak berabad-abad silam. Selalu, selalu dan selalu melalui upaya pendangkalan berpikir.

Maka, Islam sejak awal mengingatkan manusia melalui ayat-ayat yangberulang dengan kalimat, “Apakah kalian tidak berpikir”. [] Agus Sukoco

Previous ArticleNext Article