Madrasah Entrepreneurship

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti sebuah seminar kewirausahaan, sebuah acara yang diselenggarakan oleh Pemda. Narasumber acara itu yakni seorang dosen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) dari kampus terbesar di kota saya. Acara ini merupakan ajang pembekalan ilmu bisnis yang bertujuan agar tumbuh pebisnis-pebisnis baru kemudian. Saya yang sebetulnya telah menjalankan bisnis pada empat tahun terakhir, tetapi masih diundang pula menjadi salah satu peserta dalam seminar tersebut.

Dibandingkan dengan acara-acara serupa yang pernah saya ikuti, narasumber kali ini terasa berbeda dari biasanya. Ibu dosen yang menjadi narasumber berbeda jauh dengan ekspektasi saya. Walaupun apa yang dipaparkan mungkin hampir sama, tetapi Ibu dosen ini seperti tidak memiliki power, berbeda dengan kebanyakan para pakar bisnis pada umumnya. Saya tidak merasakan gairah yang lazimnya dipancarkan dari seseorang yang memiliki jiwa bisnis. Dalam seminar itu juga tidak saya jumpai strategi atau jalan tikus sebagai teknik-teknik bisnis yang unik yang saya ekspektasii bisa saya peroleh dari pelaku bisnis yang lebih berpengalaman dibanding saya.

Menyaksikan panto mimik, gestur tubuh dan intonasi sang narasumber, sejak awal sebetulnya sudah saya duga beliau adalah tipe narasumber yang based on theory. Benar saja, pada slide terakhir, sang narasumber kemudian menampilkan sosok Jose Mourinho, salah satu pelatih sepak bola terbaik dunia yang berlatar belakang bukan dari karir pemain sepak bola profesional. Naga-naganya slide itu sudah disiapkan sebagai perisai, kalau-kalau pada suatu kesempatan seminar yang ia bawakan, ia mendapati sanggahan dari peserta : “Bagaimana Anda dapat memberi semangat bisnis kepada orang lain sementara Anda sendiri belum punya pengalaman menjalankan bisnis?”. Namun, agaknya perisai yang disiapkan kali itu tidak begitu berguna, sebab kali itu saya batal mengacungkan tangan melontarkan sanggahan.

***

Entrepreneurship sesungguhnya adalah madrasah olah mental, padepokan penempa jiwa, dan lebih mendalam lagi, ia bisa menjadi  sebuah tarekat menuju Tuhan. Entrepreneurship menjadi kering, terasa ampang bila hanya disentuh dengan pengetahuan teori belaka. Materi entreprepreneurship terasa berbeda ketika dibawakan oleh seseorang yang telah mengalami proses langsung jatuh bangun di lapangan dan mereka yang sekedar mempelajari teorinya.

Seperti pengalaman sederhana yang saya alami, hanya sekedar untuk memperoleh ritme dan mekanisme kulakan batik dari Solo ke Banyumas saja, saya baru mendapatinya setelah saya kulakan yang ketujuh kalinya. Padahal itu adalah hal yang sangat sederhana. Apalagi untuk sebuah kematangan mental untuk menemukan rumusan ritme dan mekanisme entrepreneurship yang lebih rumit dan lengkap, pastilah harus melalui sederet perjalanan jatuh bangun, jungkir balik, rugi bangkrut, pahit getir yang demikian panjang.

Seseorang memulai bisnis biasanya berangkat dari sebuah ide. Kemudian ia mengolahnya menjadi satu konsep. Konsep itu ia bawa pada wawasan awalnya mengenai pasar. Bermodal semangat dan tekad, modal dana yang terbatas, modal pengetahuan teknis yang minim kesemua itu menjadi titik tempuh awal yang bisa jadi butuh waktu panjang sebelum sukses tercapai. Tak perlu kita mengharap ada cara instan untuk sesegera mungkin meraih sukses.

Melalui aktivitas bisnis, seseorang dipaksa untuk bersabar, siap menunggu, rela berkorban dan tahan terhadap caci-maki orang lain. Apa yang dalam angan-angan dan apa yang tertulis pada susunan rencana, sangat mungkin yang terjadi adalah hal yang berkebalikan. Jika tertulis pada rencana bisnis bahwa dalam tiga bulan dapat menghasilkan keuntungan X Rupiah, maka jangan kemudian ambrol jantungnya ketika hasil rekapan menunjukkan kerugian senilai 3X Rupiah. Tentu saja kondisi-kondisi semacam ini akan menyesakkan dada, membuyarkan fokus pikiran, meruntuhkan mental dan menyayat perasaan.

Bagi mereka yang telah berhasil menempa diri sehingga memiliki mental bisnis yang kokoh, mudah baginya merumuskan banyak cara untuk terus melangkah. Dengan mengambil sebanyak mungkin ilmu dari evaluasi perjalanannya, ia jadikan semua itu sebagai modal berharga untuk bekal melangkah selanjutnya. Akan tetapi bagi mereka yang enggan menempa diri untuk memiliki mental bisnis, maka pengalaman pahit yang ia jumpai akan menjadi pengalaman pertama dan sekaligus pengalaman terakhirnya dalam berbisnis.

Rencana – Praktek – Hasil – Evaluasi! Paling tidak empat hal itu yang mewakili tahapan siklus bisnis yang harus kita jalani demi membangun ketahanan mental kita. Jika tahapan itu secara istiqomah dilalui maka semakin jauh melangkah akan semakin kokoh mentalitas kita. Semakin luas penguasaan jenis masalah yang harus kita taklukan. Hal itu akan meningkatkan performa kita sebagai seorang entrepreneurship. Maka keuntungan pun akan tumbuh meningkat secara seiring sejalan.

“Ilmu tinemu kanti laku”. Sebuah falsafah Jawa yang tepat untuk menjadi pegangan para entrepreneurship untuk tiada henti bertarekat mengerjakan Rencana – Praktek – Hasil – Evaluasi. Sebagai sarana kita memproses diri menjadi pribadi yang memiliki mental yang kokoh, jiwa yang memiliki power.[] Kukuh Prasetiyo

Previous ArticleNext Article